Mohon tunggu...
Devi Ratnasari
Devi Ratnasari Mohon Tunggu... Mahasiswi Stit Sunan Giri Bima

Hobi Membaca dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ijazah Bukan Jaminan Pengetahuan tanpa pengalaman

1 Oktober 2025   09:07 Diperbarui: 1 Oktober 2025   09:07 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia pendidikan modern, ijazah sering dianggap sebagai tanda keberhasilan seseorang dalam menempuh ilmu. Selembar kertas yang ditandatangani dan distempel itu tampak berharga, bahkan sering diyakini sebagai kunci untuk mendapat pengakuan sosial dan kesempatan kerja. Namun, pertanyaan pentingnya adalah: apakah ijazah benar-benar menjadi bukti seseorang berpengetahuan, atau hanya simbol formal yang tidak memiliki makna tanpa pengalaman nyata?

Banyak orang yang lulus dengan nilai tinggi, menguasai teori dengan baik, tetapi merasa bingung ketika berhadapan dengan kenyataan di lapangan. Mereka bisa menjawab soal ujian dengan lancar, namun kerap kesulitan saat diminta mempraktikkan apa yang sudah dipelajari. Di sinilah letak persoalan: ijazah mungkin menunjukkan proses akademik yang telah dijalani, tetapi belum tentu menggambarkan kemampuan sesungguhnya.

Sejatinya, ijazah hanyalah bentuk pengakuan institusi pendidikan, bukan bukti akhir dari kecakapan intelektual maupun keterampilan. Pengetahuan sejati lahir ketika teori dipadukan dengan pengalaman. Filsuf pendidikan John Dewey menegaskan bahwa pengetahuan akan hidup jika diuji dalam pengalaman. Tanpa pengalaman, teori hanya menjadi hiasan di atas kertas---rapi namun rapuh. Sebaliknya, pengalaman tanpa teori bisa menumbuhkan intuisi, meski sering kali tidak teratur.

Oleh karena itu, hubungan antara teori dan pengalaman harus berjalan beriringan. Pendidikan formal memang memberikan dasar pemahaman, tetapi pengalamanlah yang menjadikannya nyata dan bermakna. Keduanya saling melengkapi. Namun, ketika masyarakat hanya menjadikan ijazah sebagai tolok ukur kecerdasan, saat itulah arti pendidikan menjadi sempit.

Kita bisa melihat contoh sederhana. Seorang sarjana pertanian yang tidak pernah turun ke sawah akan kesulitan memahami realitas yang dihadapi petani. Ilmunya hanya ada di buku, tidak pernah hidup di tanah yang ia pelajari. Sama halnya dengan seorang musisi yang tahu teori nada, tetapi tidak pernah memegang alat musik. Pengetahuannya berhenti pada tataran konsep, tidak pernah berkembang menjadi keterampilan.

Hal ini juga berlaku di bidang lain. Seorang dokter tidak cukup hanya menghafal anatomi tubuh, ia harus berlatih menghadapi pasien dengan empati. Seorang insinyur tidak cukup menguasai rumus, tetapi harus tahu bagaimana besi, semen, dan bangunan bekerja di dunia nyata. Tanpa itu semua, ilmu hanya akan menjadi pengetahuan kering yang sulit dipraktikkan.

Albert Einstein pernah mengatakan bahwa pendidikan bukanlah tentang menghafal fakta, melainkan melatih pikiran untuk berpikir. Pernyataan ini menegaskan bahwa inti pendidikan adalah kemampuan bernalar, memecahkan masalah, dan menemukan jalan keluar, bukan sekadar mengumpulkan angka atau gelar. Jika kita hanya menjadikan ijazah sebagai tolok ukur, kita telah mereduksi makna pendidikan yang sesungguhnya.

Masalah lain yang muncul adalah budaya simbolik dalam masyarakat. Gelar akademik sering lebih dihargai dibandingkan kemampuan riil. Banyak orang lebih menilai seseorang dari huruf-huruf di belakang namanya, bukan dari integritas atau karya nyata yang ia hasilkan. Akibatnya, muncul paradoks: banyak sarjana menganggur, sementara dunia kerja mencari tenaga yang mau belajar dari pengalaman.

Padahal, dunia kerja saat ini membutuhkan lebih dari sekadar gelar. Dunia membutuhkan orang yang mampu beradaptasi, berpikir kritis, bekerja kreatif, dan berani memecahkan masalah. Semua itu tidak lahir hanya dari ruang kuliah, melainkan dari pengalaman hidup, dari keberanian mencoba, dan dari proses belajar yang berkelanjutan.

Maka, ijazah memang penting, tetapi ia bukan jaminan. Ia hanyalah titik awal, bukan akhir dari perjalanan belajar. Yang lebih penting adalah bagaimana seseorang terus mengembangkan pengetahuannya, memperkaya diri dengan pengalaman, serta membuka diri terhadap perubahan. Tanpa itu, ijazah hanya akan menjadi hiasan dinding---indah dipandang, tetapi tak memberi arti dalam kehidupan nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun