Mohon tunggu...
DEVA SEPTANA
DEVA SEPTANA Mohon Tunggu... Journalist

dseptana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary

Apakah Tes IQ Benar - Benar Mengukur?

16 April 2025   07:33 Diperbarui: 16 April 2025   07:33 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Tes IQ telah lama menjadi alat pengukur kecerdasan yang digunakan di berbagai bidang, mulai dari pendidikan hingga pekerjaan. Namun, benarkah tes ini mencerminkan siapa kita sebenarnya? Dalam narasi ini, kita akan menggali lebih dalam tentang sejarah, kontroversi, dan keterbatasan dari tes IQ, serta bagaimana ia memengaruhi hidup seseorang dari masa ke masa.

Pada tahun 1932, lebih dari 89.000 anak-anak di Skotlandia mengikuti tes IQ dalam survei nasional. Puluhan tahun kemudian, hasil dari tes ini ditemukan kembali dan menjadi dasar dari penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti yang ingin melihat bagaimana skor IQ anak-anak tersebut berhubungan dengan kesehatan kognitif mereka di usia tua. Ternyata, mereka yang memiliki skor IQ lebih rendah cenderung mengalami demensia lebih awal dan memiliki usia harapan hidup yang lebih pendek.

Namun, data ini juga menunjukkan beberapa paradoks. Anak-anak perempuan dengan skor IQ tinggi cenderung meninggalkan daerah tempat tinggal mereka, sementara anak laki-laki dengan IQ tinggi lebih berisiko gugur dalam dinas militer selama Perang Dunia II. Peneliti pun berkeliling Aberdeen untuk mempelajari lebih lanjut mengenai lingkungan sosial dan sejarah pendidikan di masa itu. Ternyata, sekolah-sekolah di daerah padat penduduk memiliki rata-rata skor IQ yang lebih rendah dibanding sekolah di daerah lain.

Seiring waktu, ditemukan bahwa individu dengan IQ tinggi lebih sering terlibat dalam aktivitas intelektual seperti membaca buku-buku sulit dan belajar alat musik. Namun, apakah IQ yang tinggi menyebabkan ketertarikan pada kegiatan ini, atau justru kegiatan ini yang memperkuat IQ seseorang? Inilah pertanyaan yang hingga kini belum terjawab tuntas.

Seorang guru di Aberdeen memperingatkan bahwa tes IQ telah lama digunakan untuk agenda-agenda politis dan rasial. Tes ini dulu didanai oleh Eugenics Society dan Rockefeller Foundation untuk membuktikan bahwa keluarga besar cenderung memiliki kemampuan mental di bawah rata-rata. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca-Perang Dunia II, hubungan antara IQ, pendidikan, dan kesuburan menjadi lebih kompleks dan tidak sesederhana sebelumnya.

Penelitian juga menunjukkan bahwa banyak aspek penting dalam kehidupan manusia tidak dapat diukur oleh tes IQ. Disiplin diri, stabilitas emosi, empati, kerja sama tim, intuisi, kreativitas, dan keingintahuan adalah contoh kualitas yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan seseorang namun tidak terjangkau oleh tes IQ.

Fakta lainnya, penelitian mengungkap bahwa IQ tinggi tidak menjamin ketepatan berpikir. Orang dengan IQ tinggi pun bisa rentan terhadap bias kognitif, seperti bias konfirmasi atau ketidakmampuan untuk meninggalkan suatu ide yang keliru. Tes IQ juga tidak bisa mengukur kekuatan karakter, ketekunan, atau semangat berinovasi---hal-hal yang sangat menentukan keberhasilan dalam dunia nyata.

Bahkan tokoh jenius seperti Albert Einstein tidak pernah menjalani tes IQ. Ia sering menyebut bahwa rasa ingin tahu dan intuisi adalah kunci keberhasilannya. Nilai-nilai inilah yang kini justru menjadi fokus pendidikan modern.

Anak-anak sekarang diajarkan untuk bekerja sama, memecahkan masalah secara kolektif, dan membangun pemahaman emosional. Ini semua adalah pendekatan yang tidak tercermin dalam tes IQ, namun terbukti jauh lebih efektif dalam mengembangkan potensi manusia.

Akhirnya, saat para partisipan survei tahun 1932 diwawancarai kembali di usia lanjut, sebagian besar dari mereka justru mengenang masa sekolah karena persahabatan, bukan pelajaran akademik atau tes IQ yang mereka ikuti.

Tes IQ memang bisa memberikan petunjuk awal, tapi bukanlah ukuran tunggal tentang siapa kita, apa yang bisa kita capai, dan bagaimana kita berkontribusi bagi dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun