Mohon tunggu...
Desy Marianda Arwinda
Desy Marianda Arwinda Mohon Tunggu... Freelancer - flight through writes

Hidup lebih hidup dengan menulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Patah

31 Mei 2023   11:30 Diperbarui: 31 Mei 2023   18:14 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.pinterest.com/pin/732679433144760028/


Aku terduduk di lantai ubin kamar sambil mencari ke sana ke mari kacamata anti blue light yang belum lama aku kenakan tadi. Biasanya, aku menyampirkan kaca mata itu di rak serba guna putih. Namun, keberadaan kaca mata itu tidak ada sekarang. 

Aku juga sudah mondar-mandir mencarinya di kamar mandi, di keranjang sabun atau apalah itu namanya, aku belum juga mendapati keberadaan kacamata itu. Lalu, aku mulai mereka-reka ingatanku, mengingat peristiwa mutakhir yang terekam di balik kepalaku. Apakah aku menaruhnya di atas meja? Apakah aku menaruhnya di ruang tamu? Apakah aku menyampirkannya di rak buku? Apakah aku meninggalkannya di halaman belakang? Apakah aku mencantolkannya pada kursi? Semua terkaan itu mengambang di kepalaku, seperti keadaanku jika mencoba berenang di kolam renang.

Serpihan adegan saat aku menaruh kacamata anti blue light, muncul sepersekian detik. Tapi masih sedikit ragu, pikiran sering keliru soalnya. Lalu, aku justru memantapkan langkah menuju meja makan dan mengecek bagian atas tudung saji, ingatan sepersekian detikku tadi, menunjukkan kacamata itu tergeletak di sana. Kakiku sudah memaku persis di hadapan meja. Namun tak kutemui kacamata itu. Aku kembali masuk ke kamar dan menelaah ulang ingatan yang muncul di kepalaku: aku seperti mereka ulang adegan yang keliru, mereka ulang seluruh kemungkinan-kemungkinan yang penuh harap.

Aku membayangkan kacamata anti blue light itu terjatuh di suatu tempat, gagangnya terpisah, kacanya retak atau bahkan pecah. Lalu kujeda beberapa reka adegan, aku melangkah lagi membuka kenop pintu dan menengok ke segala penjuru ruangan hingga menunduk menatap tiap sudut kursi. Dan aha! Kacamata itu bertengger diam di bawah kursi. Masih utuh, hanya posisinya saja yang tidak wajar. Gagangnya tidak patah, kacanya tidak retak atau pecah seperti reka adegan yang ada di kepalaku.

Apa yang masih ditakdirkan untukku, masih akan kembali dengan utuh. Barangkali menunggu langkah kakiku, raihan tanganku, atau menunggu aku mencari-cari cara untuk mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Aku terlalu sering pesimis pada sesuatu yang hilang, terlalu demotivasi untuk membayangkan jika hal itu masih akan kembali. Dan selalu, kudapati pikiran-pikiran buruk itu malah berbohong padaku. Apa yang aku takutkan tidak benar-benar terjadi, kemungkinan-kemungkinan patah belum sepenuhnya patah. Belum retak juga. Hanya dikuasai takut dan mengubahku menjadi manusia sialan yang dikerubungi rasa pengecut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun