Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengkritisi Perubahan Perilaku di Hunian Vertikal

22 Oktober 2021   02:11 Diperbarui: 22 Oktober 2021   02:15 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://fatkhan.web.id/

Sejatinya manusia adalah makhluk sosial.  Sebab tidak ada di dunia ini manusia yang tidak membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya.  Namun munculnya hunian vertikal, yang dikenal sebagai rumah susun ataupun apartemen telah membawa perubahan pada gaya hidup manusia terutama di perkotaan.  

Gaya hidup individualis yang diadaptasi dari Budaya Barat, dan sangat bertolak belakang dengan budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan kebersamaan.

Secara garis besar hunian vertikal terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

  • Rusun atau rumah susun untuk lapisan ekonomi menengah ke bawah
  • Apartemen untuk lapisan ekonomi menengah ke atas

Keberadaan hunian vertikal tidak salah, karena untuk menjawab keterbatasan lahan.  Namun seperti mata uang yang memiliki 2 sisi, maka hunian vertikal pun memiliki untung dan ruginya.

  • Keuntungan di rumah vertikal, yaitu:
  1. Harga relatif terjangkau dibandingkan rumah konvesional/ rumah horizontal
  2. Letaknya strategis
  3. Dapat dihuni oleh masyarakat sesuai dengan budget
  4. Keamanan 24 jam
  5. Memiliki fasilitas bersama
  • Kerugiannya di rumah vertikal, yaitu:
  1. Kehilangan privasi
  2. Sempit
  3. Kecenderungan terjadi poligami
  4. Perubahan gaya hidup
  5. Perilaku individualis

Bagi kaum milenial perkotaan terkikisnya atau perubahan perilaku di rumah vertikal bisa jadi bukan persoalan.  Tetapi, bagi budaya Indonesia yang lekat dengan hubungan kekerabatan maka ini mengkhawatirkan.  Ngeri membayangkan Indonesia di masa datang, jika perlahan tapi pasti gaya hidup individualis dianggap wajar nanti.

Kita tentu akan rindu kebiasaan tetangga membunyikan bel hanya untuk meminta garam misalnya.  Seperti kejadianku beberapa bulan lalu kehabisan bawang putih untuk menumis, tetapi berkat tetangga seberang rumah maka persoalan menjadi selesai.  Maklum, kebetulan aku tinggal di kompleks.

Ini sangat berbeda dengan pengalaman di apartemen ketika belajar di Melbourne.  Bayangkan, pintu flat ku diketok karena tetangga sebelah terganggu aroma sambal goreng bawangku.  "Knock...knock... excuse me, but your cooking is really annoying."   Hahah.... pelajaran berarti untukku ketika itu.  

Selain lupa memprediksi betapa menyengatnya sambal goreng bawangku.  Aku juga lupa bahwa ini bukan di Indonesia, dan aroma masakan Indonesia yang khas bumbu pastilah sangat menusuk hidung.  Sehingga ke depan aku harus berpikir 1000 kali untuk menikmati sambal goreng.  Hahaha...

Sambal goreng hanyalah satu contoh dari cerita tinggal di apartemen.  Tetapi yang menjadi perhatian khususnya untuk milineal Indonesia adalah ancaman terkikisnya kekerabatan jika tinggal di rumah vertikal.

Harus kita akui, perilaku penghuni apartemen dengan strata ekonomi menengah ke atas, berbeda dengan warga rumah susun dari strata ekonomi menengah ke bawah.  Warga rumah susun mungkin masih bisa bertetangga.  

Tetapi, tidak demikian dengan penghuni apartemen karena bagi mereka kehidupan mereka adalah pekerjaannya, dan apartemen tidak ubahnya tempat untuk pulang lalu beristirahat.  Sedangkan sosialisasi mereka justru kebanyakan di luar apartemen.

Pertanyaannya, apakah kita diam?  Seharusnya tidak, karena kekerabatan adalah nilai luhur bangsa ini.  Sehingga sekalipun kita tinggal di rusun ataupun apartemen nilai ini harus terus berakar menjadi identitas kita.

Sehingga ada baiknya, jika pengelola apartemen juga mengadakan RT dan RW atau pengurus lainnya.  Selain itu juga mempertimbangkan diadakan acara-acara yang menyebabkan interaksi antar penghuni.

Sebab, memilih tinggal di rusun ataupun di apartemen tentu bukan pilihan satu atau dua hari.  Melainkan untuk jangka panjang. Lalu kenapa tidak menjalin atau menghidupkan hubungan kekerabatan yang notabene budaya Indonesia.

Artinya, bukan tinggal di rumah vertikal ataupun horizontal yang menjadi isu nantinya.  Tetapi, bagaimana milenial Indonesia bisa terus menghidupkan hubungan kekerabatan dan tetap menjadi makhluk sosial, tanpa dibatasi oleh tempat tinggalnya.

Jakarta, 22 Oktober 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun