Mohon tunggu...
Destyan
Destyan Mohon Tunggu... Wartawan -

Individu yang 'banting stir' dan kemudian dihadapkan pada fakta bahwa stir tersebut ternyata 'patah'. Lantas berimprovisasi dengan pedoman "As long as the wheels still moving forward, then it still count as a go..." Bisa dilacak keberadaannya di http://bit.ly/1mTP9I5

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menggugat Zaman (Catatan Demo Taksi)

25 Maret 2016   18:53 Diperbarui: 25 Maret 2016   19:07 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tahun 2015 jadi tahun yang sulit,” ungkap seorang manajer marketing sebuah perusahaan taksi swasta raksasa berkelir putih di layar televisi.

Mudah ditebak, selorohnya pasti terkait persaingan dengan jasa transportasi baru yang berbasis aplikasi.

Kala manajemen gundah, para sopir jauh lebih gelisah. Ada bentuk baru yang dirasa tengah merongrong kelangsungan periuk mereka. Datangnya seketika, dampaknya langsung terasa.

Ibarat rasa gatal, tentu paling lega kalau sudah digaruk. Unjuk rasa pun sama, jadi wahana paling nyata untuk menyuarakan “ketidaksukaan”.

Tuntutan pun kerap bergeser, dari yang awalnya tudingan “bantuan” aplikasi online hingga isu regulasi.

Para pendemo tentu tak bisa seratus persen disalahkan, namun bisa jadi “terlambat cermat” dalam menyikapi arah zaman.


Terlepas dari siapa benar atau salah, layar televisi seolah menjadi kaca bola kristal, mempertontonkan bagaimana perubahan zaman akhirnya mengancam perubahan pendapatan, baik individu maupun korporasi.

Ada pepatah bilang, hidup ibarat bola yang menggelinding, kadang di atas kadang di bawah. Menyadari itu, setiap individu seolah diwanti-wanti agar tak hanya tahu caranya berpijak, namun piawai berpegangan.

Diantara celotehan para pendemo, ironinya terdapat beberapa hal yang sangat fundamental.  Kata-kata seperti “susah harus pakai hp canggih”, “gak bisa bahasa Inggris”, “ribet”, “repot”, “males belajar lagi”, ibarat kartu merah dalam pertandingan yang tanpa disadari nyatanya sudah berlangsung satu babak.

Pertanyaan pun muncul, ketika payung regulasi yang dituntut sudah diberikan, apakah pendapatan mereka dijamin akan kembali normal, atau bahkan naik?

Tentu canggung jika harus menjawabnya blak-blakan secara lisan, tapi dalam hati, Anda mungkin ragu.

Perusahaan tempat bekerja hanyalah biduk sementara, sedangkan kualitas individu tentu sifatnya melekat. Pada akhirnya, besaran pendapatan, rezeki dan ruang aktualisasi tentu bergantung kualitas pribadi yang bersangkutan.

Oleh sebab itu, dalam menyikapi fenomena tersebut, jadi paling menarik kala ditelisik dari skala paling kecil, yaitu individu masing-masing.

Menilik sejarah, pergeseran fundamental di muka dunia selalu terjadi di awal milenium. Dua ratus tahun lalu, revolusi industri diawali di awal tahun 1800-an, demikian pula awal tahun 1900-an.  Di eranya masing-masing, individu dituntut untuk mampu berevolusi, menyesuaikan perkembangan zaman.

Kini di awal 2000-an, hal yang sama pun terjadi. Dunia maya atau internet telah merubah gaya, cara hidup dan perputaran uang. Jika dahulu tuan tanah jadi raja, kini mekanisme sharing economy telah memfasilitasi ratusan ide cemerlang sukses mendulang uang.

Kembali ke kasus unjuk rasa para sopir taksi konvensional, muncul hal mendesak yang seyogyanya turut disadari para demonstran pasca unjuk rasa Selasa lalu.

Tanpa disadari, mau tak mau, perubahan zaman tengah menyeleksi individu-individu yang "layak" survive menghadapi “revolusi” tersebut.

Individu yang terlambat berevolusi pasti otomatis terhimpit perubahan tuntutan pasar global. Faktanya, hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun menjadi fenomena dunia.

Walau sama-sama mengais di belakang kemudi, individu yang melek teknologi tentu lebih mudah beradaptasi dengan tuntutan modernitas profesi mereka. Demikian pula dampak keterampilan komunikasi, interpersonal hingga perilaku terhadap minat konsumen.

Meski memiliki nurani, keputusan konsumen tentu mengalir mengikuti mekanisme pasar. Layanan yang lebih baik tentu akan lebih disukai dan dipilih, dibanding layanan yang sekedar menyuguhkan kebutuhan semata.

Namun demikian, tentu tak elok jika seratus persen menyalahkan kondisi mayoritas para sopir taksi konvensional. Secara umum, hal ini jadi gambaran jika pemerataan kualitas SDM di negara ini memang masih jauh dari ideal. Kesadaran masyarakat untuk terus meningkatkan kualitas diri pun dirasa masih minim.

Bagi kita, para penonton, paling bermanfaat jika kasus yang menimpa dunia transportasi nasional tersebut ditarik menjadi pelajaran pribadi. Bukan tak mungkin, nantinya fenomena yang serupa turut berlaku ke dalam ranah profesi kita masing-masing.

Dalam menyikapi pergeseran zaman, tentu paling aman jika bercermin kepada diri sendiri. Ibarat waktu, perubahan pasti terjadi. Sedangkan memodifikasi kualitas diri adalah bentuk tanggung jawab pribadi.

Kita tak lagi dapat abai untuk terus mengikuti perkembangan zaman dan belajar berbagai hal baru. Contoh sederhana, sewaktu komputer kali pertama diciptakan, tentu seseorang dituntut untuk dapat mengoperasikannya dibanding hanya puas bisa menggunakan mesin ketik.

Peristiwa ini seolah mengajarkan, di tengah pergeseran zaman, seorang individu tak lagi pantas merasa “telah cukup bekal” menghadapi masa depan. Setiap orang tak lagi sekedar dituntut, namun wajib memupuk sikap optimistis dan membuang jauh-jauh dalih “nrimo”. 

Umur tak lagi jadi pembenaran individu untuk berhenti belajar. Zaman terus berubah, layaknya taksi, untuk “survive”, individu mau tak mau harus ikut terus “bergerak”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun