Mohon tunggu...
Dessy Kushardiyanti
Dessy Kushardiyanti Mohon Tunggu... Dosen - No Limit, No Regret, No Excuse

Dosen Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Syekh Nurjati - Master of Arts, Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Konten yang Kita Konsumsi Mencirikan Siapa Diri Kita, Benarkah Begitu?

19 April 2021   10:05 Diperbarui: 19 April 2021   10:30 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kemunculan berbagai fenomena di media sosial merebak sesuai preferensi penggunanya. Apa yang dilakukan di media sosial kini selintas drama yang dipertontonkan. Tak sedikit pula pengguna yang bersembunyi di balik 'topeng pencitraan' berkedok personal branding yang tiba-tiba menjadi dermawan. Menjadi 'sah' apabila yang dilakukan dinilai positif dan bermanfaat bagi penerimanya, namun perlu diingat kembali bahwa penerima konten selama itu adalah manusia maka tak selamanya bisa dikendalikan, sudah banyak quotes ber-statement bahwa "kita tidak bisa memaksa semua manusia menyukai kita" dalam hal ini melalui karya kita. 

Namun saat ini, fungsi pencitraan di media sosial sudah terklasifikasikan pada individu-individu yang ingin mendapat impresi luar biasa positif, menambah portopolio, dikenal dengan branding mumpuni sehingga dalam jangka panjang akan muncul suatu 'label' yang diharapkan. Lebih dari itu, semakin eksisnya interaksi yang terjadi di media sosial, tak sedikit pula individu yang dengan sengaja 'merusak' dirinya, dibungkus dengan konten demi keviralan. 

Jika Anda adalah pengguna aktif media sosial, pasti akan mudah menyebut fenomena-fenomena entah sengaja atau tidak disengaja seperti, membuat konten sampah, menyakiti hati orang lain, marah tanpa alasan jelas lalu dengan mudah minta maaf dan melakukan klarifikasi, lagi-lagi konten. Tidak ada yang salah dengan meminta maaf, yang salah adalah apabila terlalu sering minta maaf dan mengulangi hal yang sama. Hitung saja sudah berapa banyak kesalahan yang dibuat hanya sekedar untuk kepentingan konten. Mirisnya, monetasi pada sebuah konten media sosial masih tetap berjalan, selama standarisasi monetasi konten sebatas berdasar jumlah jam tayang, followers, subscriber, dan iklan brand, kita bisa apa?

Kembali pada persoalan media sosial bak panggung drama, maka telah lama mengenal istilah 'dramaturgi' sebuah teori datang dari seorang pakar salah satunya pada keilmuan psikologi sosial menyebutkan bahwa memang benar segala bentuk interaksi sosial dikonotasikan layaknya pertunjukan teater. Manusia adalah aktor dengan berbagai karakteristik personal dan berperan melalui perilakunya. Setiap orang dapat menampilkan performance-nya, tapi jangan berharap lebih pada kesan (impression) yang diterima jika itu berbeda, tidak sesuai ekspektasi. Dan karena panggung drama, maka pertunjukan pada setiap scrolling konten juga terserah kepada si empunya skenario konten. 

Selain Pelaku Konten, Mari Kita Simak Dari Sudut Penontonnya

Indonesia menjadi salah satu penyumbang pengguna media sosial yang cukup banyak, jika ditengok dari data terbaru pengguna media sosial dalam laman web kominfo.go.id maka terdapat 132 juta dengan tingkat keaktifan sekitar 129 juta akun memainkan perannya di media sosial selama 3,5 jam per hari. Belum lagi generasi millenial yang turut menyumbang keberadaan konten dan banyaknya dramaturgi yang terjadi pada timeline media sosial berseliweran tanpa batas. 

Hal inilah yang menjadi kewaspadaan agar tidak asal memilih konten untuk dikonsumsi. Namun, kabar buruknya adalah, masyarakat di negara kita tidak sedikit yang secara tidak langsung menyukai konten yang berunsur drama yang bersifat negatif. Padahal, jika diperhatikan pada tiap kolom komentar setiap postingan pada jenis konten seperti itu, masyarakat cukup pandai dan menyadari bahwa konten tersebut tidak layak. Balik lagi, eksistensi suatu konten tak terlepas dari aspek engagement, ekspektasi komentar individu tidak mempengaruhi pada traffict engagement postingan konten tersebut, maka akan terus dianggap sebagai konten yang 'laku' dan disukai atas dasar banyaknya interaktifitas yang terjadi. Dengan begitu, eksistensi konten tersebut akan semakin berseliweran tanpa mengenal batas usia.

Mirisnya batas usia tidak menjadi halangan aksesbilitas  di berbagai kanal media sosial. Sebatas menanyakan 'Apakah usia anda >18 tahun?', siapa menjamin seluruh netijen bersikap jujur? Maka selamat datang pada sebuah pembodohan yang merugikan. Inilah fakta perubahan sosial yang dapat terjadi pada masyarakat di tengah hiruk pikuk media sosial yang dampaknya negatif terutama bagi generasi penerus bangsa. 

Tidak ada yang sepenuhnya disalahkan pada preferensi penggunaan media sosial, karena masing-masing individu memiliki hak dalam konsumsi bermedia, yang menjadi perhatian adalah normalitas pada sebuah fenomena bahwa konten negatif di media sosial dapat menambah masalah baru pada mentalitas anak bangsa. Hal inilah yang sulit dikendalikan karena banyaknya faktor dalam preferensi penggunaan media sosial dan kuantitas eksposure konten yang tidak bisa dibendung dari berbagai kanal.

Pemerintah sudah berupaya, tapi kembali lagi ke tangan pengguna

Flashback pada upaya Pemerintah yang telah dilakukan, berdasar pada laman web Kominfo.go.id bahwa aktivitas media sosial lebih banyak pada aktivitas distribusi, Anda pasti pernah melakukan minimal repost story pada sebuah konten yang menurut anda menarik, salah satu harapannya Anda akan menemukan teman yang memiliki ketertarikan yang sama pada konten yang Anda repost. Inilah fakta yang terjadi pada penggunaan media sosial bahwa adanya pola komunikasi 10 to 90, dengan rincian sekitar 10% masyarakat yang memproduksi informasi dan sisa 90% adalah distribusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun