"Kutemukan senyum Rembulan di sela-sela rak buku. Wajahnya bersinar, buatku salah tingkah. Hatiku mendadak menabuh genderang, girang tak karuan. Aku mengikuti senyumnya, hingga menabrak buku-buku yang baru saja tersusun di atas meja. Seketika gaduh, seisi ruangan memaki. Aku keluar. Dan aku sadar telah kehilangan Rembulan."
Laki-laki itu bercerita pada rerumputan yang bergoyang di tepi telaga.
"Aku frustasi. Pada jumpa pertama, aku jatuh hati dan meyakini telah memiliki. Aku terus mencari, bertanya pada siapa saja tentang Rembulan."
Risaunya hanyut bersama perahu kertas, berharap kembali membawa kabar baik.
"Sampai akhirnya kutemukan Rembulan termenung di ayunan taman kota. Aku memeluknya dari belakang. Menciumi daun telinganya. Aroma tubuhnya seperti kuncup melati. Aku khawatir Rembulan marah atas lakuku yang kurang ajar. Namun, Rembulan mengerti bila rindu harus tersampaikan. Rindu ini milikmu, aku berbisik. Rembulan tersenyum dan kami mengakhirinya di tepi telaga."
Tangannya meremas-remas tanah basah. Menanam amarah.
"Hampir tiap malam, aku menemui Rembulan di tempat ini. Dan sekarang tak kujumpai sosoknya."
Malam mengusir. Ia beranjak dengan tubuh menggigil dihajar gerimis. Dibujuknya jalanan agar menghapus arah pulang. Berkali-kali ia memukul kepalanya, mencoba mengingat-ingat kesalahan yang mungkin telah ia perbuat.
"Siapa yang menghamilimu? Biar kupatahkan leher laki-laki itu!"
Dadanya berdegup kenyang. Langkahnya terhenti di depan rumah bambu. Ia mengintip, berusaha melihat wajah yang menangis. Yang ia temukan hanyalah perut buncit berbalut kain lurik.
"Rembulan hanya ingat tangannya yang mencengkeram kuat-kuat."