Ada masa ketika aku duduk sendiri di pojok kamar, menatap dinding putih yang kosong, dengan satu koper di kaki dan satu pertanyaan menggantung di kepala: "Apakah aku bisa bertahan di sini?"
Hari pertama sebagai anak rantau bukan tentang petualangan. Bukan juga tentang semangat atau kebebasan. Hari pertama itu tentang diam. Tentang bingung harus ngobrol dengan siapa. Tentang bagaimana menyeduh mi instan sambil menahan isak, karena tidak ada tangan ibu yang menyeka air mata.
Aku tidak kenal siapa-siapa. Di sekelilingku ada pintu-pintu kosan yang tertutup rapat. Seolah semua orang di sini sedang menjalani hidup mereka masing-masing dan tidak punya waktu untuk orang baru seperti aku. Hari itu, dunia terasa asing, dan aku adalah orang yang paling sendirian di planet ini.
Hari-Hari Pertama: Sepi yang Berisik
Kos-kosan itu sunyi, tapi sunyinya tidak tenang. Ada suara tawa samar dari kamar sebelah, ada suara sepatu yang tergesa di lorong, ada pintu kamar mandi yang dibanting semua seperti tanda bahwa dunia tetap berputar walau aku sedang diam. Tapi sepi itu tetap ada.
Aku tidak langsung kenal siapa-siapa. Bahkan sekadar menyapa terasa canggung. Kami semua sama-sama pendatang. Masing-masing sibuk kuliah, sibuk bertahan hidup, sibuk menelepon orang rumah karena kangen masakan ibu, sibuk pura-pura kuat di story Instagram.
Di tengah-tengah itu semua, ada satu suara kecil di hati yang bilang:
"Tunggu sebentar lagi. Mungkin besok ada yang mengetuk pintu."
Awal Pertemuan: Kopi, Hujan, dan Senyum Pertama
Ternyata benar. Hari itu hujan. Aku sedang duduk di lantai, menatap jendela yang basah, ketika terdengar ketukan pelan di pintu. Seorang cewek dengan jaket biru dan rambut basah berdiri sambil mengangkat mug. "Kopi?" katanya. Aku mengangguk sambil kikuk.
Namanya Wina. Dia tinggal di kamar sebelah, baru saja nyasar dari kota kecil di Sumatera. "Aku kira kamu jutek," katanya sambil tertawa. Aku juga mengira hal yang sama tentang dia. Tapi malam itu kami ngobrol dua jam tanpa sadar. Mulai dari harga kosan, dosen killer, sampai makanan terenak yang tidak bisa ditemui di sini.
Malam itu, ruang kos yang biasanya sepi berubah. Ada suara tawa. Ada dua cangkir kopi kosong. Ada dua orang yang sama-sama bingung tentang hidup, tapi merasa sedikit lebih kuat karena tahu mereka tidak sendirian.
Bertambahnya Keluarga di Tempat yang Asing
Wina mengenalkan aku ke dua anak cowok di lantai atas. Rendi dan Arman. Yang satu suka main gitar di malam hari, yang satu lagi pendiam tapi jago masak. Kemudian ada Sinta dari kamar paling pojok---yang awalnya tidak pernah keluar kamar, tapi ternyata pecinta drama Korea garis keras dan punya koleksi cemilan selemari.