Oleh: ( Nama : Desni Taileleu )Â
 jika ingin dicantumkan]Dalam hidup ini, ada kalanya kita menyerahkan seluruh hati pada seseorang yang kita panggil *sahabat*. Bukan sekadar teman biasa, tapi sosok yang kita yakini selalu ada, baik suka maupun duka.
 Namun, tak semua kisah berakhir indah. Kadang, orang yang sangat kita percaya justru jadi sumber air mata. Dulu, aku punya seseorang yang begitu berarti. Seseorang yang kuanggap sahabat sejati.Â
Bukan cuma sekadar sebutan, tapi terbukti dari setiap tindakan dan kepercayaan. Aku mendekatinya saat aku merasa rapuh, hilang arah, dan tak punya siapa-siapa. Mungkin benar, aku datang hanya saat butuh. Mungkin aku sering muncul hanya untuk berkeluh kesah. Aku sadar itu salah.Â
Tapi, bukan maksudku merepotkan aku datang karena ada rasa percaya. Kupikir itulah arti persahabatan: ada saat senang maupun susah. Namun, semua berubah.Â
Ucapan di meja makan itu, di depan banyak orang, menghancurkan segalanya. Saat kamu bilang aku datang hanya saat perlu, lalu pergi setelahnya... aku membeku. Tak bisa kujawab.
 Bukan karena tak ada kata, tapi karena hatiku hancur berkeping-keping. Bukan sekadar kecewa tapi rasanya dunia runtuh. Karena kalimat itu terlontar dari seseorang yang dulu jadi sandaranku.
 Aku tertunduk, berusaha menahan air mata agar tak jatuh di depan mereka. Aku memilih diam, karena jika bicara, hanya isak tangis yang keluar. Aku tak pernah membocorkan rahasiamu pada siapa pun.Â
Tak sekalipun aku mengkhianati kepercayaanmu, meski sedang berjuang dengan perasaanku sendiri. Tapi ternyata, diamku bukanlah kekuatan, melainkan kelemahan yang disalahartikan. Hari itu aku belajar, persahabatan tak selalu jadi tempat ternyaman.
 Kadang, tempat itu bisa terasa asing. Akhirnya, hanya bisa kubisikkan dalam hati: *tak apa*. Mungkin aku bukan sahabat ideal. Mungkin banyak kekuranganku. Tapi, aku manusia, dan manusia sedang belajar. Belajar untuk hadir, belajar memahami, dan belajar melepaskan. Aku minta maaf.