Suatu pagi dalam diskusi tertutup dengan sejumlah mahasiswa semester akhir, seorang peserta mengajukan pertanyaan yang membuat saya tertegun. "Bu, kalau saya jujur dalam menulis skripsi, tapi dosennya sendiri malah kasih contoh plagiarisme, apa masih penting bicara soal integritas akademik?" Pertanyaan ini bukan sekadar keresahan pribadi. Ia mewakili kerapuhan budaya akademik kita saat ini---budaya yang tak lagi kokoh berdiri di atas semangat keilmuan dan nilai-nilai etika.
Riset yang dilakukan sejumlah lembaga pendidikan menunjukkan bahwa kecurangan akademik di perguruan tinggi Indonesia bukan lagi anomali, tetapi gejala sistemik. Dari plagiarisme, pemalsuan data, jual-beli skripsi, hingga penyalahgunaan wewenang oleh dosen dalam publikasi ilmiah, semua kian marak. Masalah ini tak berdiri sendiri. Ia berakar pada budaya akademis yang lemah dan permisif terhadap pelanggaran.
Permisivisme dan "Normalisasi" Kecurangan
Budaya akademik bukan sekadar tata cara berpakaian di ruang kuliah atau kelengkapan perangkat riset. Ia adalah atmosfer intelektual yang dibangun atas nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab ilmiah, penghargaan terhadap karya orang lain, dan semangat mencari kebenaran. Namun, dalam praktiknya, kampus-kampus kita cenderung mengembangkan budaya administratif---mementingkan berkas, angka, dan indikator formal semata, tanpa memastikan esensinya.
Di tengah tekanan administratif dan target formalistik, banyak dosen terjebak dalam logika pragmatis: yang penting publikasi tercapai, kenaikan jabatan diraih, dan beban mengajar selesai. Tak sedikit yang menggunakan jasa "penulis bayangan", mengirim naskah ke jurnal predator, atau sekadar mencantumkan nama kolega demi saling menguntungkan. Ketika mahasiswa melihat dosennya menjadi pelaku, maka nilai-nilai keilmuan pun tak lagi bermakna di hadapan contoh buruk.
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor secara tegas mewajibkan dosen untuk menjaga integritas akademik. Namun, efektivitas peraturan ini patut dipertanyakan. Tanpa mekanisme pengawasan yang transparan, serta sanksi yang ditegakkan secara konsisten, regulasi tersebut tak lebih dari seremonial hukum.
Sering kali pelanggaran etik hanya diselesaikan secara internal, tertutup, dan penuh kompromi. Tidak jarang, pelapor justru mendapat tekanan atau dikucilkan. Budaya "diam demi harmoni" kerap membungkam upaya penegakan etika. Padahal, dalam ekosistem akademik yang sehat, pelaporan pelanggaran semestinya menjadi bagian dari tanggung jawab moral kolektif, bukan tindakan yang dianggap mencemarkan institusi.
Mahasiswa di Pusaran Keteladanan yang Gagal
Di sisi lain, mahasiswa menghadapi tekanan yang tak kalah berat. Tuntutan untuk lulus cepat, terbatasnya pembinaan akademik, dan minimnya literasi ilmiah menjadikan banyak dari mereka sekadar "menyelesaikan tugas", bukan benar-benar belajar. Dalam kondisi seperti ini, penyedia jasa skripsi tumbuh subur, menjajakan kemudahan dengan iming-iming hasil instan.
Padahal, sebagian dari mereka sebenarnya memiliki potensi intelektual yang baik. Namun, keteladanan menjadi kunci yang hilang. Ketika mahasiswa melihat bahwa kejujuran tak dihargai, sedangkan kecurangan ditoleransi, maka nilai integritas berubah menjadi beban, bukan kebanggaan.