Logikanya begini. Sebelum kita memutuskan untuk menjalin hubungan dengan seseorang dalam konteks-berpacaran, tentunya kita akan menjalani yang namanya pdkt (pendekatan).
Tidak mungkin, kita akan langsung memutuskan untuk menjalin suatu hubungan (berpacaran) apabila kita tidak suka, bukan. Melalui PDKT ini, secara langsung kita mulai melihat sikap, penampilan dan apapun itu yang bisa kita nilai sebagai kriteria idaman.
Akan tetapi, setelah memutuskan untuk berpacaran, banyak pasangan yang membuat peraturan seperti ini, dengan melarang pasangannya menggunakan make up. Masih tidak habis pikir saja, apa yang salah dengan make up.
Orangtuanya yang sejak lahir tinggal dengannya, tidak pernah melarang, ataupun mempermasalahkan anaknya untuk menggunakan make up.
Apabila yang dilakukannya memang berlebihan, sebelum dirimu yang melarang, kedua orangtuanya akan lebih dulu melakukan hal tersebut. Nyatanya, apa yang dilakukannya masih dalam batas kewajaran.
Kenapa kita yang baru hadir, malah membuat peraturan yang sulit diterima oleh akal sehat. Hingga mengekang dengan melarangnya untuk bermake up.Â
Seseorang yang sudah sedari awal telah menerapkan daily make up routine, akan sulit melepaskan kebiasaan ini. Apabila tidak suka dengan caranya bermake up, kenapa masih memutuskan untuk berpacaran dengannya? Kan aneh jadinya.
Make up digunakan sebagai penunjang penampilan. Saya yakin, sebagian besar perempuan pasti sangat suka dengan namanya bermake up. Kalau bisa berpenampilan lebih baik, kenapa tidak.
Kedua, merasa tidak dipercayai
Saat menjalin suatu hubungan (berpacaran), tentunya harus saling memiliki kepercayaan terhadap pasang. Agar stigma negatif yang sering hadir tanpa diundang, bisa hilang tanpa harus berbekas.
Namun, semua ini akan berbeda bagi para controlling behaviour. Dirinya sulit mempercayai pasangan secara utuh. Berbagai macam cara dilakukannya dan berbagai macam peraturan diterapkannya.
Agar pasangannya bisa terus berada di bawah pengawasannya. Kita ambil contoh di atas pada nomor satu dan tiga.