Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya orang biasa

Wa/sms 0856 1273 502

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Namaku Awai 155-157

4 Juni 2018   08:39 Diperbarui: 4 Juni 2018   09:03 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dermaga sepi di malam hari. Banyak nyamuk membuat Awai mengajak Tiong It naik ke perahu. Ia melepas tali dan perahu di dayung ke tengah laut. Cara ini efektif menghindari nyamuk. Nyamuk bersarang di air tergenang. Tak mungkin nyamuk bersarang di permukaan ombak. Air laut mengalir tiada henti.

Tiong It memandang ke darat. Tampak kota Bengkalis dikepung lampu, indah dipandang, enak dilihat, nyaman di mata, membuat Tiong It terpesona oleh campuran nuansa hitam dan kuning keemasan di cakrawala. Ia membiarkan Awai mendayung. Ia belum mahir mendayung. Kalau ia yang mendayung, jalan perahu seperti ular air, dan itu tak nyaman. Awai mendayung untuk menghilangkan kegundahan hatinya. Tiong It membiarkan Awai melamun sambil mendayung. Mungkin itu bisa menghibur kesedihan di hati Awai.

Lama kelamaan Awai merasa santai. Kecipak air yang terkena dayung membuatnya melupakan sesak di dada, mirip musik alam penghibur lara. Hidup miskin ternyata belum cukup, masih ditambah masalah yang ditimbulkan oleh Ting Ling dan ibunya. Awai ingin bertanya kenapa Tuhan memberinya cobaan sebanyak ini ? Jika pulang ke rumah, apakah semua akan kembali seperti sediakala? Tampaknya hal itu tak mungkin terjadi. Besok, jika ibunya tetap tak menyuruh seseorang mengantar rantang, itu berarti setengah bulan berikutnya mereka tak mendapat makanan. Apakah ia harus bergantung pada kemurahan hati makcik Yo?

Angin membuat rambut awai tersibak. Rambut Awai dikibarkan angin. Tiong It terpesona melihat rambut Awai menari-nari. Ia bertopang dagu di lutut dan menatap Awai tiada henti, tak bosan, tak pernah jemu.

" Andai aku kaya..." tercetus kata-kata itu dari mulut Awai, tapi tak diteruskan. Ia tahu tak mungkin seseorang kaya mendadak. Kalau mau kaya, orang harus bekerja keras, hemat, rajin menabung. Hemat pangkal kaya. Begitulah ajaran guru di sekolah selama ini. Ia percaya apa yang dikatakan guru selalu benar.

" Apa yang ingin kamu utarakan ? Aku akan jadi pendengar setia," kata Tiong It.

" Aku bingung memikirkan masa depanku," jawab Awai, berhenti mendayung, membiarkan ombak membawa perahunya. Di laut ia tak perlu takut kesasar. Lampu kota Bengkalis adalah kompas yang tak perlu dibelinya.

" Takut ibumu tak mengirim makanan lagi untuk kalian ? Jangan kuatir, akan kuminta mama memasak lebih, akan kuntar sarapan, makan siang dan malam untukmu dan papamu. "

" Tak usah, Tiong It. Aku tak ingin menyusahkan ibumu. Aku sudah memutuskan, jika mama berulah, atau tidak menerima kami saat kami pulang nanti, aku akan memohon makcik Yo menerimaku bekerja. Makcik Yo baik, pasti mengizinkan aku bekerja sambil merawat papa."

Tiong It tertegun mendengar omongan Awai. Itu memang jalan keluar yang bagus, tapi itu berarti ia dan Awai akan terpisah jauh. Apakah itu jalan terbaik bagi mereka?

" Dulu kamu mengatakan ingin bekerja di toko Juwita." Ucap Tiong It pelan. Berhenti begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun