Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Classic rock addict || Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing || Lulusan S1 FIKOM konsentrasi Jurnalistik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Semua Karena Rock N' Roll

10 Maret 2020   22:49 Diperbarui: 10 Maret 2020   22:52 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com, edited

"Roy juga sudah menunggu di sana." Papa tiba-tiba memotong. Di antara senang dan bingung, aku terpana tak percaya mendengar kata-kata Papa barusan. Papa tersenyum melihat ekspresiku.

"Beberapa hari setelah kejadian malam itu, Papa datang ke studio tempat Roy latihan. Andika yang memberitahu Papa alamatnya. Papa berbicara banyak dengan Roy. Dan ujungnya, tiket ini sebagai bagian dari permintaan maaf Papa." mendengar itu aku langsung memeluk Papa.

"Maafkan Papa, Arini. Papa tahu kamu sudah dewasa tapi di mata Papa kamu selalu menjadi gadis kecil Papa. Kadang Papa terlalu berlebihan menjagamu. Papa tidak mau terjadi apa-apa denganmu, kehilanganmu. Itu saja." suara Papa terdengar lirih.

"Iya, Pa. Arini juga minta maaf." hanya itu yang bisa terucap dari bibirku. Aku memaklumi sikap Papa yang sangat berhati-hati menjaga kedua anaknya terutama aku semenjak kepergian Mama karena kecelakaan pesawat di pulau seberang saat aku masih berumur 12 tahun. Dalam hati aku hanya bisa berjanji takkan pernah mengecewakan Papa.

**

Di gerbang masuk arena konser, Roy yang sudah menunggu segera melambaikan tangannya. Hari itu ia terlihat begitu ceria, lepas, dan yang pasti sungguh menawan dengan rambut gondrong kriwilnya yang dibiarkan panjang mendekati pinggang seperti para rockstar era 80-an. Setengah berlari ia mendatangi aku dan Papa. Kulihat ia sangat terkejut sekaligus senang melihat penampilan Papa yang juga 'nge-rock' seperti dirinya. 

"Rambutnya keren, Pak!" pujinya lalu menyalami tangan Papa. Papa tersenyum sembari menepuk-nepuk pundak Roy. 

"Mungkin lain kali saya juga harus memakai jeans robek butut sepertimu." canda Papa lalu tersenyum sambil geleng-geleng kepala memperhatikan penampilan Roy dan beberapa gerombolan anak muda yang lalu lalang di sekeliling kami. Tak lama, pintu utama arena konser dibuka dan Roy meminta izin untuk masuk lebih dahulu untuk menemui beberapa temannya yang kebetulan juga datang ke konser malam ini, teman-teman yang bisa membantunya menjadi apa yang selama ini ia impikan.

"Jadi Papa akan berusaha mengenal Roy kan?" tanyaku dengan nada sedikit mendesak setelah Roy pergi. Pria berkulit sawo matang dengan satu tahi lalat di pelipis kirinya itu tidak menjawab.

"Sudah sana, nikmati konsernya." sahutnya kemudian setelah beberapa saat berada dalam diam sembari menatapku dengan lembut, seakan tahu kalau aku sudah tidak sabar menyaksikan konser itu. Ini akan menjadi salah satu malam terindah di hidupku. Betapa tidak, aku akan menyaksikan musisi pujaanku yang sudah menggerayangi setiap tidur malamku, merasuk di antara mimpi-mimpi siang bolongku selama bertahun-tahun. Dan aku menontonnya bersama Roy yang juga berhasrat untuk bisa berada di panggung seperti mereka suatu hari nanti, meraung-raungkan gitar di atas kobaran semangat, tepukan tangan dan histeria pemujanya, berada di puncak dunia.

Di belakangku, erangan gitar listrik dan gebukan drum yang bersahutan mulai terdengar. Sorak-sorai manusia bergema tak sabar menanti mulainya konser seakan hendak meruntuhkan arena terbuka dengan lampu-lampunya yang mulai berkilatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun