Mohon tunggu...
Derajat Fitra
Derajat Fitra Mohon Tunggu... Guru - Masih belajar

Iman-Ilmu-Amal

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Relevansi Islam dengan Marxisme

11 Juni 2020   18:42 Diperbarui: 11 Juni 2020   18:54 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika dicermati, maka pemikiran Marx  memiliki beberapa kelemahan, di antaranya ialah mereduksi hakikat alam semesta hanya menjadi realitas material semata, membatasi kebenaran hanya bersandar pada rasio-indrawi saja, dan mengandung kontradiksi pemikiran. Kemudian daripada itu, penegasannya yang menganggap metode empiris sebagai satu-satunya neraca kebenaran ilmiah dan penolakannya terhadap logika rasional yang terlepas dari pengetahuan empiris menambah kejelasan bahwa pemikiran Marx mengingkari keberadaan Tuhan yang Ada tertinggi atau transenden, menolak keabsahan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan, dan menafikan kebenaran agama karena agama bersandar pada wahyu dari Tuhan pencipta seluruh alam.

Pandangan Marx yang menyatakan bahwa keberadaan manusia ditentukan atau dikondisikan oleh realitas material yang berada di luar jangkauan kesadaran, dan pada saat yang sama juga menyatakan bahwa manusia dengan aktivitas produksi materialnya dapat menciptakan sejarah manusia itu sendiri, adalah jelas merupakan kontradiksi yang tidak dapat diterima akal sehat. 

Secara tidak disadari oleh Marx, justru inti dari pernyataan-pernyataan tersebut sebenarnya menyiratkan keharusan adanya Pencipta dan yang dicipta. Pandangan Marx yang menolak Tuhan yang transenden, yang tidak terjangkau indra dan pikiran, tetapi menerima bahwa segala sesuatu adalah berasal dari realitas material, sama artinya mengakui bahwa segala sesuatu tercipta oleh sesuatu yang lain, tetapi bukan Tuhan yang gaib, melainkan realitas material. Kemudian dari itu, jika prinsip pemikiran Marx menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk manusia, pada hakikatnya adalah objek indrawi atau realitas material dan jika dikatakan bahwa manusia adalah pencipta sejarahnya sendiri, maka dalam pandangan Marx, manusia itu adalah ciptaan sekaligus pencipta dirinya sendiri.

Berkenaan dengan hal tersebut, Ghanim Abduh menjelaskan bahwa segala sesuatu membutuhkan ‘dzat’ yang menciptakannya atau khalik, sehingga semuanya tadi merupakan makhluk atau ciptaan. Makhluk boleh jadi dicipta oleh dirinya sendiri atau ciptaan yang lain dan tidak ada pilihan lain. Realitas makhluk yang terindra membuktikan bahwa pandangan yang menyatakan manusia dicipta dirinya sendiri jelas batil, karena manusia akan menjadi ciptaan dan pencipta dirinya sendiri secara bersama-sama. Jadi, manusia harus dicipta oleh yang lain. Dengan cara ini, keberadaan pencipta dapat dibuktikan. Artinya, keberadaan sesuatu yang dapat diindra dan dipikirkan itu sebagai ciptaan sang pencipta, dan bahwa penciptanya itu adalah selain diri yang dapat diindrai dan dibayangkan dalam pikiran berhasil dibuktikan keberadaannya.

Lantas berkenaan dengan penekanan pada penyelidikan empirisme sebagai neraca kebenaran ilmiah, meminjam analisa Muhammad Baqir Ash-Shadr, bahwa jika neraca kebenaran manusia adalah hasil sistematisasi pengetahuan indrawi semata, maka pengetahuan yang didapat manusia melalui indra harus selalu benar dan mesti dianggap sebagai neraca primer untuk menimbang kebenaran ide-ide dan pengetahuan lainnya. Padahal kenyataannya, pengalaman indrawi tidak terbebas dari kesalahan dan ungkapan yang menyatakan bahwa “kebenaran segala sesuatu harus dapat dibuktikan secara empiris” bukanlah pernyataan yang empiris. Dengan demikian, pemikiran Marx telah jatuh dari kedudukan ilmiahnya selama ratusan tahun ini.

Adapun kontradiksi pemikiran Marx lainnya, juga tergambar dalam visinya yang mengandaikan adanya masyarakat tanpa kelas sebagai realitas akhir di mana manusia terbebas dari segala bentuk penindasan dan persoalan hidup. Konsepsi tersebut kontradiktif dengan keyakinan dialektikanya yang menyatakan bahwa realitas tidak akan berhenti mengalami perubahan karena terdapat pertentanganpertentangan di dalamnya. Menegaskan akan berakhirnya keadaan suatu masyarakat dalam bentuk masyarakat tanpa kelas sekaligus menafikan akan berhentinya keadaan masyarakat tersebut dari mengalami perubahan, atau sama dengan menegaskan bahwa sesuatu itu “terjadi” sekaligus “tidak terjadi” secara bersamaan. Suatu kontradiksi yang mustahil dapat dibenarkan oleh akal sehat.

Selain itu, sosiologi marxis yang berisi ramalan Marx tentang akan runtuhnya kapitalisme, terjadinya revolusi komunisme di seluruh dunia, dan terbentuknya masyarakat tanpa kelas sama rasa-sama rata sebagaimana yang dicita-citakannya, kenyataanya tidak lagi menemui relevansi dalam kontekstualisasi pada era dewasa ini. Cita-cita Marx akan hadirnya komunisme tatanan masyarakat dunia tanpa batas-batas kelas justru diwujudkan oleh kapitalisme melalui globalisasi yang diusungnya. 

Begitu pun cita-cita komunisme akan pemilikan alat produksi secara merata justru diwujudkan oleh kapitalisme dengan diproduksinya gawai dan laptop yang hampir dimiliki oleh setiap orang saat ini. Adapun kaitannya dengan persoalan agama, tampaknya memang benar bahwa negara-negara komunis saat ini juga telah memberikan penghormatan yang baik terhadap kehidupan beragama di negaranya, namun hal tersebut bukan sikap murni berdasarkan prinsip asasi komunisme terhadap agama, melainkan konsekuensi logis dari upaya mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat internasional, agar tidak menuai tekanan dari masyarakat internasional.

Komunisme sejatinya meletakkan agama bukan sebagai yang utama melainkan sebagai alat bagi kemaslahatan negara dalam konteks sosial. Sebab prinsip pokoknya tentang agama, sebagaimana disebutkan dalam manifesto komunis-nya, “semua agama sampai sekarang merupakan ekspresi dari tahapan-tahapan historis dari perkembangan tiap-tiap individu atau kelompok. Tapi komunisme adalah tahap perkembangan historis yang membuat semua agama yang ada menjadi tidak diperlukan lagi, dan akan menyebabkan pelenyapannya”. Andaipun komunisme mengakui adanya agama dan Tuhan, sebagaimana dalam pikiran Marx, Tuhan atau agama yang diakuinya itu hanyalah realitas material atau perkembangan dari realitas material belaka.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka seorang Muslim mestinya mengenali dan mengakui bahwa solusi terbaik untuk segala persoalan manusia, khususnya umat Islam saat ini, bukanlah bersandar pada pemikiran Marxisme, melainkan dengan keyakinan, pemahaman dan pengamalan Islam secara menyeluruh dan konsisten. Energi pembebasan manusia dari kemiskinan, penindasan, eksploitasi dan berbagai masalah-masalah lainnya yang menimpa umat, sejatinya adalah keikhlasan yang ditopang oleh ilmu tauhid yang kukuh, sehingga memandang kebenaran dan realitas secara integral dalam kerangka tauhid. 

Artinya, rasa simpati atau empati kita sebagai seorang Muslim terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan program-program sosial, cukuplah dengan menjadi Muslim secara kaffah, yakni Muslim yang meyakini, memahami, dan mengamalkan Islam secara keseluruhan dalam kehidupan. Tidak perlu melibatkan diri dalam pemikiran Marx, Marxisme, maupun segala bentuk turunannya. Sebab bagaimanapun pada prinsip asasinya, mereka telah mengabaikan nilai-nilai moral dan spiritual, sehingga jelas bertentangan dengan prinsip asasi ajaran Islam. Dengan demikian, pemikiran Marx atau Marxisme pada prinsip asasinya tidak relevan untuk dijadikan sebagai sandaran dalam menghadirkan solusi bagi permasalahan hidup manusia, khususnya bagi kalangan umat Islam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun