Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nalar Kritis: Modal Pelajar Zaman Now

12 September 2022   14:14 Diperbarui: 12 September 2022   14:28 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bacaan umumnya berbicara tentang segala yang ideal sehingga menjadi tolok ukur atas kenyataan. Tugas pendidik adalah menampakkan sebanyak mungkin 'jurang' yang menganga di pandangan mata peserta didik, agar ia semakin kritis. Kritisisme muncul berkat luasnya pengetahuan dan wawasan tentang 'yang semestinya' (das sollen) vis a vis 'kenyataan yang ada' (das sein).

Keterbukaan dan kesetaraan adalah iklim dan atmosfer yang semestinya dikembangkan di lingkungan belajar. Kritisisme tidak tumbuh di lingkungan yang menimbulkan rasa takut: takut berpendapat, takut dirundung, takut diancam dan dihukum. Peserta didik harus selalu menyadari bahwa kritisisme yang dilontarkan atas nama pengetahuan adalah sesuatu yang dianjurkan bahkan wajib.

Kemaslahatan orang banyak atau bahaya sosial yang mengancam masyarakat luas merupakan topik-topik yang semestinya diangkat dalam pelajaran-pelajaran yang menstimulus nalar kritis peserta didik. Topik-topik ini akan sangat menantang peserta didik karena dirinya sendiri merupakan bagian dari satuan sosial yang disebut komunitas atau society. 

Dunia dipenuhi dengan masalah-masalah dan ketimpangan-ketimpangan yang seakan tidak pernah selesai. Problem-problem sosial yang dipaparkan ke hadapan peserta didik niscaya menggugah kritisisme dan nalarnya guna mencarikan solusi bagi problem-problem tersebut. Kelaparan, bencana alam, kemiskinan, kebodohan, ketidakmerataan dalam pembangunan, ketidakadilan, merupakan masalah-masalah yang memantik kepedulian.

Untuk membuat peserta didik makin akrab dengan masalah-masalah sosial, jurang-jurang ketimpangan itu bisa disajikan dalam konteks kehidupannya yang paling familiar. Misalnya masalah-masalah pergaulan yang menimpa kaum remaja, problem relasi peserta didik dengan orang tuanya, kesenjangan kesejahteraan antar keluarga, dan seterusnya.

Problem based learning dan project based learning merupakan model pembelajaran yang paling efektif menggugah kritisisme perserta didik. Penempatan peserta didik dalam konteks 'masalah' akan membuatnya  berpikir, mengkaji ulang, mendudukkan perkara-perkara pada proporsinya masing-masing, melakukan konsultasi, pengamatan, eksperimentasi, trial and error, mengujikan alternatif-alternatif solusi sampai benar-benar matang dan bisa disajikan untuk kemaslahatan individu dan kolektif.

Kritis untuk sebagiannya bermakna tidak mudah percaya (skeptis) dan sikap menuntut bukti. Oleh karenanya jika seseorang bersikap kritis dia tidak hanya menuntut orang lain menghadirkan argumentasi atau bukti akan tetapi juga harus sudah memiliki bukti dan hujjah di sisinya. Latihan berpikir, berargumen dan berlogika harus merupakan bagian inheren dalam semua pembelajaran.

Sikap kritis lahir bukan hanya akibat interaksi dua arah atau konflik pemikiran pada diri satu orang akan tetapi dapat pula merupakan hasil dari pergumulan gagasan dari banyak peserta diskusi. Dalam diskusi yang disebut juga sebagai brainstorming (curah pendapat) para peserta akan mengajukan opini dan perspektif masing-masing. Banyaknya opini dan sudut pandang akan menghasilkan kelengkapan pada tubuh argumentasi dan simpulan yang dihasilkan.

Karena pendapat dinyatakan lewat bahasa, maka pengajaran retorika menjadi bagian terpenting dalam penumbuhan kritisisme peserta didik. Pengajaran retorika lewat tata bahasa dan sastra yang baik diharapkan mampu mempertinggi keterampilan peserta didik dalam mengajukan pikiran-pikiran dan nalar kritisnya.

Tugas lembaga pendidikan sekarang nampaknya adalah membawa budaya-budaya populer yang diakrabi remaja dan pemuda ke ranah pembelajaran. Literasi yang ditujukan untuk mengasah kritisisme pelajar dan menajamkan kepedulian sosialnya mesti juga berkompromi dengan populisme ini. Pemanfaatan game sebagai media belajar, media sosial berbasis audio-video, gamifikasi --dilakukan guna menarik 'massa' peserta didik yang malas membaca ke ranah literasi yang lebih tinggi.

Semua jenis kecerdasan (inter personal, intra personal, linguistik, matematis, spasial, kinestetik dan lain sebagainya) membutuhkan nalar kritis. Berbekal kritisisme itu peserta didik atau pelajar diharapkan akan terus menerus belajar dan meningkatkan kecerdasan, keterampilan dan kompetensinya di bidang yang menjadi keistimewaannya masing-masing.

Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun