Mohon tunggu...
denny septiviant
denny septiviant Mohon Tunggu... Politisi PKB

Human right defender | progresive rock | Nahdliyin | photography enthusiast | Aikido practical

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kartini Bukan Icon Girlboss

21 April 2025   15:47 Diperbarui: 21 April 2025   15:47 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kartini dalam versi WPAP

Setiap kali 21 April tiba, narasi emansipasi perempuan kembali menggema. Sosok Kartini hadir dalam slogan, seminar daring, hingga promosi diskon produk kecantikan. Namun, di balik perayaan yang semarak itu, makna emansipasi yang sejatinya diperjuangkan Kartini justru semakin kabur. Ia tak lagi dikenang sebagai pemikir kritis yang menggugat struktur sosial patriarkal dan kolonial, tetapi dijadikan simbol femininitas yang jinak dan terkontrol.

Kartini bukan sekadar sosok yang mendambakan pendidikan, tetapi seorang intelektual yang menulis sebagai bentuk perlawanan. Dalam suratnya kepada Stella dan Abendanon, ia mempertanyakan logika feodalisme, kuasa kolonial, dan ketidakadilan berbasis gender yang mencekik perempuan Jawa. Sebagaimana ditulis Kartini dalam salah satu suratnya, "Kami di sini menderita karena peraturan dan adat... yang tidak memberi kami hak untuk menentukan nasib kami sendiri." (Kartini, dalam Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer, 2003).

Namun, alih-alih dikenang sebagai pelawan, negara---terutama sejak Orde Baru---merekonstruksi Kartini sebagai ikon perempuan ideal: anggun, berpendidikan, tetapi tetap setia pada kodrat domestik. Negara menjadikan Kartini bagian dari ideologi "state ibuism" (Suryakusuma, 1996), yang memposisikan perempuan sebagai pelengkap pembangunan, bukan pelaku perubahan. Emansipasi dipersempit dalam program pemberdayaan ekonomi dan pendidikan tanpa menyentuh akar struktural penindasan.

Lebih lanjut, kapitalisme turut membajak emansipasi dengan mengemasnya sebagai gaya hidup. Feminisme dikomodifikasi menjadi identitas konsumtif---"you go, girl" di baju kaus, lipstik edisi Kartini, dan seminar motivasi bertajuk "perempuan hebat" yang menekankan pencapaian individual. Angela McRobbie (2009) menyebut fenomena ini sebagai "post-feminist masquerade", di mana kebebasan perempuan disimulasikan melalui konsumsi dan performativitas, bukan pembebasan struktural.

Dalam kondisi ini, emansipasi tereduksi menjadi narasi representasi, bukan resistensi. Perempuan dianggap berdaya jika tampil sukses secara ekonomi atau menduduki posisi strategis, tanpa mempertanyakan kondisi buruh perempuan di sektor garmen, PRT migran, prekariat, atau korban kekerasan seksual yang justru tak tersentuh narasi arus utama.

Ironisnya, negara dan pasar justru bersinergi dalam membentuk model emansipasi yang "aman"---tidak mengancam stabilitas sosial dan tidak menggugat relasi kuasa. Negara menawarkan inklusi terbatas, pasar menawarkan ruang ekspresi yang palsu, dan keduanya sama-sama membungkam bentuk-bentuk emansipasi yang berakar pada perlawanan kolektif.

Kartini sendiri dalam riwayatnya pernah memiliki relasi yang penting dengan tokoh Islam progresif seperti Kiai Sholeh Darat. Ia menemukan dalam Islam---melalui terjemahan Qur'an berbahasa Jawa dari Kiai Sholeh---sebuah etika keadilan dan pembebasan. Ini menegaskan bahwa emansipasi Kartini bukan sekadar "barat"-sentris, tetapi juga bersumber dari khazanah lokal yang melawan ketidakadilan. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bahwa agama bukan alat domestikasi, tetapi justru bagian dari proyek emansipatoris.

Hari ini, banyak perempuan Indonesia yang melanjutkan semangat perlawanan itu: aktivis korban kekerasan seksual yang menolak diam, buruh perempuan yang memimpin mogok kerja, ibu-ibu desa yang menolak perampasan tanah. Mereka menulis, berorganisasi, dan bersuara melampaui panggung selebrasi simbolik.

Emansipasi harus dikembalikan pada ruhnya sebagai proyek politis. Sebagaimana dikatakan Nancy Fraser (2013), perjuangan feminis mesti menjembatani antara "redistribusi dan rekognisi"---bukan hanya diakui secara simbolik, tetapi juga diubah secara material. Dalam konteks Indonesia, ini berarti mendesak negara mengubah sistem hukum, sosial, dan ekonomi yang eksploitatif; sekaligus menolak kooptasi pasar yang memonopoli narasi pemberdayaan.

Jika kita ingin merayakan Kartini dengan jujur, kita harus bersedia menempatkan emansipasi dalam garis konflik: antara kekuasaan dan pembebasan, antara pasar dan keadilan sosial. Kartini adalah penulis yang resah, perempuan yang menggugat, dan pemikir yang memimpikan dunia lain---yang lebih adil bagi semua, bukan hanya bagi segelintir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun