Mohon tunggu...
Denni Candra
Denni Candra Mohon Tunggu... Praktisi Komunikasi - Penulis - Pengajar

Praktisi Komunikasi, Personal Development serta HR – LnD Enthusiast yang suka nulis, penyuka kopi, traveling dan hobi gowes. Selain itu juga memfokuskan diri untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran di bidang Learning & Development, Risk Management, Kepenulisan, Public Speaking dan Tranformasi Budaya (Culture Transformation). Untuk kerja sama kegiatan fasilitasi, kepenulisan dan lainnya, boleh hubungi saya melalui media sosial atau email: info.dennicandra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Menyikapi Krisis Viral: Kasus TikTok Karyawan Pertambangan

5 Februari 2025   09:24 Diperbarui: 5 Februari 2025   09:24 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Crisis. Sumber ilustrasi: PIXABAY/pixabay

Dalam era digital seperti sekarang, media sosial telah menjadi panggung bagi siapa saja untuk berbagi cerita, termasuk karyawan perusahaan. Namun, apa yang terjadi ketika sebuah konten sederhana berubah menjadi krisis besar bagi perusahaan? Inilah yang sedang dihadapi oleh sebuah perusahaan pertambangan setelah seorang karyawannya membuat konten TikTok tentang pengalamannya menggunakan layanan kesehatan perusahaan. Konten tersebut, yang awalnya mungkin hanya dimaksudkan sebagai cerita lucu, justru memicu kontroversi besar karena membandingkan layanan kesehatan antara karyawan tetap dan honorer. Ditambah lagi, penggunaan seragam perusahaan dan lokasi kerja sebagai latar belakang konten semakin memperkeruh situasi.

Kasus ini tidak hanya menjadi sorotan publik, tetapi juga menyeret nama perusahaan ke dalam pusaran krisis komunikasi. Lalu, bagaimana seharusnya perusahaan menyikapi dan menangani krisis seperti ini? Mari kita bahas secara mendalam, dengan menggali konsep komunikasi krisis dan langkah-langkah praktis yang bisa diambil.

Memahami Akar Masalah: Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Sebelum perusahaan bisa mengambil langkah apa pun untuk menangani krisis, langkah pertama dan paling krusial adalah memahami akar masalahnya. Dalam kasus ini, masalah bermula dari sebuah konten TikTok yang dibuat oleh seorang karyawan perusahaan pertambangan. Konten tersebut, yang mungkin awalnya hanya dimaksudkan sebagai cerita lucu atau sekadar berbagi pengalaman pribadi, justru menyoroti sebuah isu yang jauh lebih besar dan sensitif: ketimpangan dalam layanan kesehatan antara karyawan tetap dan honorer. Apa yang mungkin dianggap sebagai candaan atau sekadar konten hiburan, ternyata menyentuh saraf publik yang semakin sensitif terhadap isu-isu ketidakadilan, terutama dalam hal hak-hak pekerja.

Ketika konten tersebut mulai viral, reaksi publik pun tidak bisa dihindari. Media sosial, terutama platform seperti TikTok, memiliki kemampuan untuk menyebarkan informasi dengan kecepatan yang luar biasa. Dalam hitungan jam, konten yang awalnya hanya dilihat oleh segelintir orang bisa menjadi bahan perbincangan nasional. Publik, yang semakin kritis dan peduli terhadap isu-isu sosial, langsung merespons dengan negatif. Mereka tidak hanya melihat ini sebagai masalah internal perusahaan, tetapi juga sebagai cerminan dari ketidakadilan sistemik yang sering kali dialami oleh pekerja honorer.

Namun, masalahnya tidak berhenti di situ. Karyawan tersebut tidak hanya membahas isu sensitif, tetapi juga menggunakan seragam perusahaan dan lokasi kerja sebagai latar belakang kontennya. Hal ini secara tidak langsung melibatkan perusahaan dalam kontroversi tersebut. Seragam perusahaan, yang seharusnya menjadi simbol kebanggaan dan identitas, justru menjadi alat yang memperkeruh situasi. Publik tidak hanya melihat ini sebagai masalah pribadi karyawan, tetapi juga sebagai cerminan dari budaya dan kebijakan perusahaan. Akibatnya, perusahaan pun terseret ke dalam pusaran krisis yang awalnya mungkin tidak mereka antisipasi.

Dari sini, kita bisa melihat beberapa elemen kunci yang memicu krisis ini. Pertama, isu yang diangkat dalam konten tersebut sangat sensitif. Ketimpangan layanan kesehatan antara karyawan tetap dan honorer bukanlah hal sepele. Di tengah meningkatnya kesadaran akan hak-hak pekerja, isu seperti ini mudah sekali menyulut emosi publik. Karyawan honorer, yang sering kali dianggap sebagai "kelas dua" dalam perusahaan, sudah lama merasa diperlakukan tidak adil. Ketika konten tersebut membandingkan layanan kesehatan yang mereka terima dengan yang diterima oleh karyawan tetap, itu seperti menuangkan bensin ke dalam api. Publik, yang sudah muak dengan ketidakadilan, langsung merespons dengan keras.

Kedua, penggunaan identitas perusahaan dalam konten tersebut memperburuk situasi. Ketika seorang karyawan menggunakan seragam perusahaan dan lokasi kerja sebagai latar belakang kontennya, itu tidak hanya mencerminkan dirinya sendiri, tetapi juga perusahaan tempatnya bekerja. Publik cenderung melihat ini sebagai representasi dari budaya dan kebijakan perusahaan. Apalagi jika konten tersebut menyoroti isu sensitif seperti ketimpangan layanan kesehatan. Perusahaan, yang seharusnya bisa menjaga jarak dari kontroversi pribadi karyawan, justru ikut terseret karena identitasnya digunakan dalam konten tersebut.

Ketiga, viralitas media sosial memainkan peran besar dalam memperburuk krisis ini. Platform seperti TikTok memiliki algoritma yang dirancang untuk menyebarkan konten dengan cepat. Konten yang kontroversial atau menyentuh isu sensitif cenderung mendapatkan lebih banyak perhatian. Dalam kasus ini, konten yang dibuat oleh karyawan tersebut tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga memicu perdebatan sengit di antara netizen. Hasilnya, konten tersebut dengan cepat menjadi viral dan menarik perhatian media massa. Perusahaan, yang mungkin awalnya tidak menyadari adanya masalah, tiba-tiba harus berhadapan dengan badai krisis yang sulit dikendalikan.

Dengan memahami akar masalah ini, perusahaan bisa mulai mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menangani krisis. Namun, penting untuk diingat bahwa krisis ini bukan hanya tentang konten TikTok yang viral, tetapi juga tentang isu-isu mendasar yang perlu diatasi. Ketimpangan dalam layanan kesehatan, penggunaan identitas perusahaan, dan kekuatan media sosial adalah elemen-elemen yang saling terkait dan perlu ditangani secara holistik. Hanya dengan memahami akar masalahnya, perusahaan bisa merespons dengan cara yang efektif dan memulihkan kepercayaan publik.

Komunikasi Krisis: Apa yang Harus Dilakukan Perusahaan?

Komunikasi krisis bukan sekadar tentang merespons masalah yang muncul, tetapi juga tentang bagaimana perusahaan mampu mengelola situasi dengan bijak, transparan, dan bertanggung jawab. Dalam kasus viralnya konten TikTok seorang karyawan perusahaan pertambangan yang membandingkan layanan kesehatan antara karyawan tetap dan honorer, perusahaan dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana merespons dengan tepat agar reputasi tidak semakin terpuruk, sambil tetap menjaga kepercayaan karyawan dan publik. Mari kita bahas lebih mendalam langkah-langkah yang harus diambil perusahaan dalam menghadapi krisis ini.

1. Tanggap Cepat dan Proaktif: Jangan Biarkan Krisis Mengendap

Dalam dunia yang serba cepat seperti sekarang, kecepatan merespons krisis adalah kunci utama. Ketika sebuah konten viral memicu reaksi negatif, perusahaan tidak bisa hanya diam dan berharap masalah akan hilang dengan sendirinya. Diam terlalu lama justru akan diinterpretasikan sebagai ketidakpedulian atau bahkan pembiaran. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan perusahaan adalah merespons dengan cepat dan proaktif.

Respons awal ini tidak perlu terlalu detail, tetapi harus menunjukkan sikap serius dan bertanggung jawab. Misalnya, perusahaan bisa mengeluarkan pernyataan singkat yang mengakui adanya masalah dan menyatakan bahwa investigasi sedang dilakukan. Contoh pernyataan seperti, "Kami menyadari adanya konten TikTok yang dibuat oleh salah satu karyawan kami dan sedang melakukan investigasi mendalam terkait hal tersebut. Kami sangat menghargai semua karyawan, baik tetap maupun honorer, dan akan mengambil langkah yang diperlukan untuk memastikan keadilan dalam layanan kesehatan yang kami sediakan," bisa menjadi langkah awal yang tepat.

Respons cepat seperti ini tidak hanya menunjukkan bahwa perusahaan peduli, tetapi juga membantu mengendalikan narasi yang beredar di publik. Jika perusahaan diam, narasi negatif akan terus berkembang dan semakin sulit dikendalikan.

2. Investigasi Internal yang Transparan: Cari Fakta, Bukan Cari Kambing Hitam

Setelah merespons secara publik, langkah selanjutnya adalah melakukan investigasi internal. Tujuan investigasi ini bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk memahami konteks sebenarnya dari konten tersebut. Siapakah karyawan honorer yang dimaksud dalam konten tersebut, apakah karyawan honorer perusahaan atau non perusahaan? Apakah karyawan tersebut melanggar kebijakan perusahaan dengan membuat konten di tempat kerja? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab dengan jelas dan transparan.

Proses investigasi harus dilakukan secara adil dan terbuka. Perusahaan perlu melibatkan pihak-pihak yang kompeten, seperti tim HR atau divisi hukum, untuk memastikan bahwa hasil investigasi akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika memang ditemukan ketimpangan dalam layanan kesehatan, perusahaan harus berani mengakuinya dan berkomitmen untuk memperbaikinya. Transparansi dalam proses ini akan membantu memulihkan kepercayaan karyawan dan publik.

3. Menyampaikan Pesan yang Jelas dan Konsisten: Jangan Buat Publik Bingung

Salah satu kesalahan fatal dalam komunikasi krisis adalah ketidakkonsistenan pesan. Ketika perusahaan mengeluarkan pernyataan yang berbeda-beda, baik melalui media sosial, siaran pers, atau komunikasi internal, publik akan merasa bingung dan semakin tidak percaya. Oleh karena itu, perusahaan harus memastikan bahwa semua pesan yang dikeluarkan konsisten dan tidak saling bertentangan.

Pesan utama yang perlu disampaikan adalah:

- Perusahaan peduli terhadap semua karyawan, baik tetap maupun honorer.

- Perusahaan berkomitmen untuk menyediakan layanan kesehatan yang adil dan berkualitas.

- Perusahaan akan menindaklanjuti hasil investigasi dan mengambil langkah perbaikan jika diperlukan.

Pesan ini harus disampaikan secara jelas dan berulang-ulang melalui berbagai saluran komunikasi, baik itu media sosial, website perusahaan, atau email internal. Konsistensi pesan akan membantu membangun kepercayaan dan menunjukkan bahwa perusahaan serius dalam menangani krisis ini.

4. Melibatkan Stakeholder yang Terdampak: Dengarkan Suara Mereka

Dalam krisis seperti ini, stakeholder yang terdampak tidak hanya karyawan yang membuat konten, tetapi juga karyawan honorer, manajemen, pelanggan, dan bahkan mitra bisnis. Perusahaan perlu melibatkan mereka dalam proses komunikasi krisis. Misalnya, perusahaan bisa mengadakan pertemuan internal dengan karyawan untuk mendengarkan keluhan dan masukan mereka. Ini akan memberikan kesan bahwa perusahaan benar-benar peduli dan ingin memahami perspektif semua pihak.

Selain itu, perusahaan juga bisa mengeluarkan surat terbuka kepada publik yang menjelaskan langkah-langkah yang sedang diambil. Surat terbuka ini tidak hanya menunjukkan transparansi, tetapi juga memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk menyampaikan pesan langsung kepada publik tanpa distorsi dari media.

5. Memperbaiki Kebijakan dan Sistem: Jangan Hanya Selesaikan Krisis, Tapi Cegah Terulang

Jika hasil investigasi menunjukkan adanya ketimpangan dalam layanan kesehatan, perusahaan harus segera memperbaiki kebijakan dan sistem yang ada. Ini bukan hanya tentang menyelesaikan krisis, tetapi juga tentang mencegah masalah serupa di masa depan. Misalnya, perusahaan bisa mempertimbangkan untuk menyediakan layanan kesehatan yang setara untuk semua karyawan, baik tetap maupun honorer.

Selain itu, perusahaan juga perlu memperbarui kebijakan penggunaan media sosial bagi karyawan. Misalnya, melarang penggunaan seragam perusahaan atau lokasi kerja dalam konten pribadi. Pelatihan tentang etika bermedia sosial dan dampaknya terhadap reputasi perusahaan juga perlu diberikan kepada karyawan. Langkah-langkah ini tidak hanya akan membantu mencegah krisis serupa di masa depan, tetapi juga menunjukkan bahwa perusahaan serius dalam memperbaiki diri.

6. Membangun Narasi Positif: Pulihkan Reputasi dengan Cerita Baik

Setelah krisis mulai mereda, perusahaan perlu membangun narasi positif untuk memulihkan reputasinya. Ini bisa dilakukan dengan menyoroti inisiatif-inisiatif positif yang sedang dijalankan, seperti program kesejahteraan karyawan atau kontribusi perusahaan kepada masyarakat. Misalnya, perusahaan bisa membuat kampanye media sosial yang menampilkan testimoni positif dari karyawan tentang layanan kesehatan yang mereka terima.

Narasi positif ini akan membantu mengalihkan perhatian publik dari kontroversi ke hal-hal yang lebih positif. Selain itu, ini juga akan menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya fokus pada menyelesaikan masalah, tetapi juga berkomitmen untuk terus berbuat baik.

Krisis sebagai Kesempatan untuk Berkembang

Krisis yang dipicu oleh konten TikTok karyawan pertambangan ini adalah contoh nyata tentang bagaimana media sosial bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial bisa menjadi alat yang powerful untuk membangun citra positif. Di sisi lain, media sosial juga bisa menjadi sumber krisis yang merugikan.

Untuk menghadapi krisis semacam ini, perusahaan perlu merespons dengan cepat, melakukan investigasi internal, mengkomunikasikan hasil investigasi dengan jujur, menangani karyawan yang terlibat dengan bijaksana, melakukan evaluasi dan perbaikan internal, serta membangun hubungan yang baik dengan publik. Dengan mengadopsi konsep komunikasi krisis yang tepat, perusahaan tidak hanya bisa mengatasi krisis dengan efektif, tetapi juga bisa memulihkan dan bahkan meningkatkan reputasinya di mata publik.

Pada akhirnya, krisis adalah ujian bagi integritas dan ketangguhan perusahaan. Perusahaan yang mampu menghadapi krisis dengan bijaksana dan profesional akan keluar sebagai pemenang, sementara perusahaan yang abai atau salah langkah justru akan semakin terpuruk.

Mau komunikasi lebih lanjut ? Follow saya di instagram @dennicandra 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun