Belakangan, konten protes tentang guru hilir mudik di beranda medsos. Kontennya viral karena menyebut semua guru korupsi dan mengajak jutaan followersnya membenci guru. Setelah dilaporkan, tentu saja akun medsosnya menghilang.Â
Tuduhannya tentu memicu berbagai tanggapan. Saya juga ingin menanggapi dengan sebuah kisah tentang guru saya. Pak Wahab namanya.Â
Sosok Bersahaja
Pak Wahab Cahyono adalah guru geografi saya semasa di Seminari Menengah Mertoyudan, tempat pendidikan calon pastor Katolik setingkat SMA di Magelang, Jawa Tengah. Pada masanya, beliau selalu tampil rapi, baju lengan panjang tak pernah digulung, celana cutbray yang tersetrika licin, sepatu pantofel, dan tentunya rambut tersisir rapi. Oya, tak lupa, tas selempang kulit yang selalu tergantung di pundak kanan kala memasuki kelas.Â
Di mata kami, siswa-siswanya, pak Wahab adalah sosok bersahaja. Beliau seorang Muslim yang sungguh taat dan menghayati panggilannya sebagai pendidik. Selalu ada cara yang beliau lakukan untuk membuat kami menikmati proses pembelajaran di dalam kelasnya. Sebut saja ketika ulangan. Biasanya, beliau akan menulis soal-soal yang disiapkannya di papan dengan kapur tulis. Setelah selesai, beliau menegaskan, "Silakan dikerjakan empat ya!" (tapi kiri beliau, dengan semua jari terbuka seolah memberi kode bahwa kami harus mengerjakan lima dari delapan soal di papan tulis).Â
"Lho pak, itu kok lima? Empat atau lima pak?" tanya kami memastikannya. Spontan, beliau melihat tangannya, tangan kanan yang masih memegang kapur menunjuk tangan kiri yang jempolnya sudah ditekuk. Sambil tersenyum, beliau mengulangi, "Empat ya!"Â
Di lain kesempatan, beliau membawa permen di kelas. Mertoyudan memang berhawa sejuk. Suara bapak ibu guru pun terkadang meninabobokan. "Siapa yang ngantuk? Angkat tangan! Nanti saya beri permen!" begitulah cara beliau membuka sesi pembelajaran di siang hari. Bagi kami, caranya unik untuk membuat kami semangat belajar. Permennya pun tawaran menarik kala kantuk melanda.Â
Demikianlah pak Wahab, sosok bersahaja yang dekat dengan kami siswa-siswanya.Â
Teladan Saat BerpuasaÂ
Di bulan Ramadan, Pak Wahab tentu tak pernah alpa berpuasa. Sebagai seorang Muslim, beliau tak tampak lelah menjalani bulan Ramadhan meski jam pelajaran yang diampunya tak dikurangi.Â
Satu keteladanan yang beliau lakukan saat sedang berpuasa adalah pilihannya untuk menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Biasanya, saat istirahat pertama, kami segera menuju refter (ruang makan). Sudah tersaji tentu kudapan dan teh hangat. Tak jarang, beberapa dari kami menghabiskan waktu dengan membaca buku di dalam kelas, main gitar, atau sekadar bercengkerama. Demikian pula para guru. Sudah tersaji di meja masing-masing kudapan, teh, atau air putih.Â
Rasanya, pak Wahab pun sungguh mengerti. Beliau tampak tenang menuju perpustakaan, memilih untuk duduk dan membaca koran atau majalah yang selalu tersedia di rak buku. Begitu selesai waktu istirahat, beliau pun kembali menuju kelas, mengajar seperti biasa.Â
Pilihan tindakannya biasa saja. Tetapi bagi saya, yang beliau lakukan merupakan tindakan penuh makna. Meski tak diungkapkannya, rasanya beliau ingin menyampaikan pesan ini. Beliau tidak mau rekan-rekan guru lain yang tidak berpuasa merasa tidak nyaman karena menikmati kudapan dan minum di hadapan beliau yang sedang menjalankan ibadah puasa. Maka, pilihannya untuk menghabiskan waktu di perpustakaan tak lain lahir dari niat yang jernih untuk menjalankan ibadah puasa tanpa menyulitkan sesama rekan guru yang tidak berpuasa. Rasanya, beliau pun tidak menuntut agar orang lain untuk tidak makan dan minum di hadapan beliau.Â
Bagi saya, Pak Wahab tak hanya mengajar Geografi. Pada masanya, beliau mampu membahasakan materi ajar dengan sederhana. Wawasannya amat terbuka. Baginya, mengajar adalah ibadah sehingga beliau tak pernah sungkan untuk berbagi pengetahuan tanpa dibatasi sekat perbedaan. Kedekatan kami, siswa-siswanya, dengan beliau pun dilandasi sikap hormat. Beliau paham kami anak zaman yang kadang juga sulit dipahami. Kalau terkadang nakal dan tidak mau diatur, ya bisa jadi. Tapi, beliau tetap menunjukkan sikap yang menyentuh hati kami masing-masing. Menerima kami sebagai pribadi yang sedang dibentuk dalam proses pendidikan.Â
Pak Wahab sendiri telah dipanggil Tuhan 11 tahun lalu, pada 2014. Sebagai orang yang pernah dididik oleh beliau, saya tentu merasa kehilangan. Namun, kisah sederhananya tak hilang dari ingatan.Â
Saya pernah dididik oleh guru-guru hebat. Pak Wahab salah satunya. Mereka tidak saja berbagi pengetahuan, tetapi keteladanan hidup yang berguna untuk saya saat ini. Sebut saja hadir tepat waktu di kelas. Selama empat tahun tinggal di Seminari Menengah Mertoyudan, jarang kelas kami kosong. Bapak ibu guru selalu hadir tepat waktu. Bahkan ketika baru selesai sarapan, beberapa guru tampak sudah berada di depan ruang kelas kami. Bagi kami, apa yang mereka lakukan ini saja sudah menjadi bentuk komitmen atas waktu.Â
Apa pesannya? Saya sungguh mengapresiasi kisah hidup yang ditunjukkan dengan keteladanan sederhana seperti yang dilakukan oleh pak Wahab ini. Maka, mari mulai belajar bijak dalam bermedia. Hidup tak semudah "waton njeplak di medsos".  Semoga bulan suci Ramadan ini menjadi masa penuh berkah untuk olah  hati, rasa, karsa, dan raga. Selamat menunaikan ibadah puasa bagi saudara-saudari yang menjalankannya. Selamat memasuki Bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI