Cerita seorang ibu, yang mengungkapkan keinginannya merayakan Natal bersama semua anak dan cucunya, setelah bertahun-tahun terpisah jarak perantauan.
***
Maria Supriyatno, duduk di kursi depan mobil yang dikendarai menantunya. Tangannya memegang brosur Perayaan Natal 2018 bersama jemaat salah satu gereja Katolik di Jakarta Timur.
"Apaan itu, Bu?" tanyaku.
"Ini, paket jalan ke Yerussalem de-el-el... bayarnya 40 juta," jawab Ibu mertuaku.
"Wah asyik, tapi bayarnya lumayan ya. Mahal," timpalku. Dan kami nyengir bersama.
"Iya. Ah, Ibu mah yang penting Natalan bareng anak cucu, kumpul semua udah seneng..." ungkap ibu mertuaku, sambil memasukkan brosur berwarna putih itu ke tas tangannya.
Enggak terasa, Natal tiba sebulan lagi. Perasaan baru kemarin, aku mengantar ibu mertua beribadah Misa. Aku sering menawarkan diri mengantar ibu mertua beribadah ke gereja, pada akhir pekan, atau saat aku tahu ada hari-hari besar umat Kristiani, seperti Paskah atau lainnya.
Buatku yang seorang Muslim, mengantar ibu mertua beribadah ke gereja kujadikan doa semoga dihitung pengabdian anak kepada orang tuanya.
Lagipula, aku tahu, beribadah di gereja jadi salah satu cara ibu mertuaku mengobati rindu pada anak cucunya, terutama yang tinggal di seberang lautan. Ibu mertuaku begitu khidmat saat mendoakan anak-anak dan cucunya di Jawa Timur, dan di Timor Leste, yang semuanya beragama Islam.
Begitulah agama mengajarkan agar kita menebar kebaikan, ngalap rahmat dan berkah, penuh cinta dan kasih.