Mohon tunggu...
Deni Mildan
Deni Mildan Mohon Tunggu... Lainnya - Geologist, Dosen

Geologist, Dosen | Menulis yang ringan-ringan saja. Sesekali membahas topik serius seputar ilmu kebumian | deni.mildan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Olahraga Boleh, tapi Jangan Jadi Atlet Ya!

7 Agustus 2021   10:55 Diperbarui: 7 Agustus 2021   11:11 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi atlet (Foto oleh Oliver Sjostrom dari Unsplash)

"Olahraga boleh, tapi jangan jadi atlet ya!"

Begitu kira-kira kalimat yang Asep lontarkan saat membahas rutinitas olahraga kami. Ia mengutip wejangan ibunya yang tidak ingin sang anak terjun ke dunia atlet.

Asep memiliki tubuh yang sehat, bugar, dan atletis. Semua itu berkat kegemarannya berolahraga di gym dan beberapa tahun mengikuti perguruan beladiri.

Kondisinya yang prima itu juga yang menjadi landasan saya untuk memilihnya ikut petualangan seminggu di daerah Karangbolong, Kebumen, Jawa Tengah. Saya mendapatkan tugas pemetaan geologi di daerah tersebut dan butuh "asisten" agar tidak krik-krik sendirian di lapangan.

Kembali ke persoalan olahraga tadi. Asep menambahkan, ibunya berpesan agar ia tidak terlalu larut dalam persaingan olahraga dan menjadi atlet karena tidak ada kepastian bisa hidup dari sana.

Pikiran saya agak sedikit terganggung setelah percakapan tersebut. Saat itu, adalah seorang atlet. Saya tengah mempersiapkan diri sebagai perwakilan Undip dalam sebuah kejuaraan nasional pencak silat yang akan digelar beberapa bulan ke depan.

"Apakah saya sudah terlalu larut dalam kegemaran olahraga saya sendiri?" begitu pikir saya.

Akan tetapi, saya cepat-cepat menepis pikiran tersebut dan menyuntikkan kembali pikiran positif ke dalam kepala. Saya memang berniat melakukan hal terbaik yang saya bisa, apapun risiko yang kelak akan saya terima nantinya.

***

Pemberitaan soal prestasi atlet-atlet rutin menghiasi media. Mereka diberitakan memperoleh prestasi tertinggi di bidang yang digelutinya, bergelimang harta, dan tak ketinggalan mendapatkan bonus dari pejabat negara.

Yang terbaru tentu saja pasangan ganda putri Greysia Polii-Apriyani Rahayu. Pemerintah pusat memberikan apresiasi kepada keduanya dengan memberikan bonus berupa uang 5 milyar rupiah pasca raihan gemilang medali emas di Olimpiade Tokyo. Ini belum termasuk bonus yang diberikan pemerintah daerah asal mereka, pihak swasta, dan lain-lain.

Selain karena bakat dan keinginan untuk mengaktualisasi kemampuan diri, iming-iming bonus juga menjadi salah satu pelecut motivasi para atlet. Bibit-bibit atlet yang masih muda belia pun tentunya akan ikut terbakar semangatnya.

Akan tetapi di sisi lain, tak jarang kita jumpai pula atlet yang prihatin nasibnya. Meraih medali di masa jayanya, namun merasa kini di masa tuanya.

Seperti Abdul Rozak, atlet asal Papua yang meraih medali pertama bagi Indonesia di cabang taekwondo di Asian Games Seoul tahun 1986. Setelah pensiun sebagai atlet, ia harus menyambung hidup sebagai pelatih taekwondo di sana sini. 

Perlu waktu lama hingga akhirnya pemerintah dan lembaga-lembaga kemanusiaan membuka mata terhadap kehidupannya Abdul Rozak pasca pensiun.

Yuni Astuti, seorang mantan atlet bulu tangkis yang pernah meraih juara pertama pada ganda putri PON 1986 di Jakarta. Ia harus mundur dari dunia bulu tangkis setelah mengalami cedera kaki. Setelah gantung raket, Tuti harus kerja serabutan hingga jadi pengamen dengan hidup serba pas-pasan.

Abdul Rozak dan Yuni Astuti cuma dua dari sekian banyak kasus atlet berprestasi yang "diterlantarkan" setelah dirinya tak lagi sanggup berlaga. Kita mungkin melihat banyak hal serupa di kanal-kanal berita.

Masa pensiun sebagai atlet merupakan momok yang menakutkan. Bagi yang kurang pandai mempersiapkan diri, mereka harus tetap mencari kerja agar dapat menyambung hidup.

Atlet berprestasi saja belum tentu hidup enak di masa depannya. Apalagi atlet yang prestasinya nanggung, atau bahkan kurang berprestasi. Jumlah mereka jauh lebih banyak daripada atlet cemerlang yang menyumbang gelar dan kebanggaan.

Berkaca dari kasus mantan atlet berpretasi yang merana, sebagian orang tua akhirnya menganggap bahwa cita-cita sebagai atlet bukanlah impian yang realistis. Tidak ada yang jaminan hidup sejahtera dari pekerjaan sebagai atlet.

Daripada capek-capek bertanding, akhirnya hidup melarat, lebih baik berolahraga sewajarnya yang penting sehat. Daripada berlatih keras tapi tanpa hasil, lebih baik menghindari risiko sedini mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun