Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tahun Kuda, Idul Fitri yang Berkesan Sekaligus Mengharukan

24 Mei 2020   16:26 Diperbarui: 24 Mei 2020   16:18 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat singgah di Tegal dalam perjalanan kembali ke Jakarta (dokpri)

Hari Raya Idul Fitri tahun 1441 Hijriah jatuh pada hari  Minggu, 24 Mei 2020. Setiap momen Idul Fitri memiliki kesannya masing-masing. Seperti tahun 2020 ini, dimana perayaan Idul Fitri dilaksanakan dalam suasana pandemi corona. Sehingga tak ada itu saling kunjung atau berjabat tangan cipika-cipiki. 

Dari sekian kali momen Idul Fitri yang pernah saya lalui. Idul Fitri di tahun kuda 2014 merupakan Idul Fitri yang berkesan bagi saya. Bagaimana tidak? Sebagai penyuka tantangan. Gemar berpetualang. Menjelang Idul Fitri tersebut saya mendapatkan tantangan yang cukup menantang.

Tantangan di sini bukan dalam artian lomba atau ada sebuah pertarungan dan semacam itu. Melainkan ada sebuah peristiwa yang mengharuskan saya untuk melakukan hal tersebut. 

Oleh suatu sebab, saya harus pergi ke kampung halaman ibu di Banyumas dua hari menjelang lebaran. Bayangkan? Dua hari menjelang lebaran harus ke kampung secara mendadak. Tiket kendaraan sudah sulit didapat. Kalaupun ada tiket yang tersedia,harganya selangit. Saya jelas tak sanggup. Sayang pula. 

Tapi saya harus pulang. Ini sungguh dilema luar biasa. Setelah berpikir keras dan mempertimbangkan segala sesuatunya. Akhirnya saya putuskan untuk naik motor saja ke Banyumasnya.

Awalnya ditentang oleh seluruh keluarga. Namun setelah berbicara dengan ibu dan ternyata ibu merestui. Wuih, bukan main leganya hati ini. Bagi saya, doa ibu adalah pelindung kita dalam mengarungi alam semesta.

Maka begitulah. Berbekal doa restu ibu. Usai salat subuh, saya riding menuju Banyumas, Jawa Tengah. Tanpa persiapan fisik. Tanpa mempersiapkan kondisi motor. Tanpa mengetahui jalur yang harus dilalui. Hanya bermodal restu ibu dan tekad hati bahwa saya bisa. Saya siap merayakan Idul Fitri 2014 di kampung halaman.

Ini perjalanan pertama saya mengendarai motor dengan jarak tempuh sejauh ini. Sekaligus pengalaman pertama. Namanya yang pertama, tentu tak tahu medan yang ditempuh. Sehingga saya tidak bisa memperkirakan waktu akan tiba dimana pukul berapa. Pokoknya melaju terus. Beristirahatnya hanya di waktu salat dan saat mata mulai mengantuk. 

Melaju dan melaju terus. Tak peduli tengah malam, saya terus saja melaju. Pikir saya saat itu, namanya lebaran jalanan pasti ramai. Tanpa berpikir bahwa jalur motor dan mobil itu berbeda. Saya yang mengendarai motor sempat mendapati jalanan yang sepi sekali sepanjang sekian puluh kilometer. 

Saat itu saya tidak tahu di daerah mana itu? Setelah sekarang saya perhatikan. Rupanya itu jalur Brebes menuju Bumi Ayu. Ya, ampun. Sangat panjang dan sepi. Wow, kalau teringat saat itu tengah malam menyusuri jalan tersebut rasanya merinding sendiri. Bagaimana tidak? Sepi dan jauh dari pemukiman penduduk. Kalau ada apa-apa dengan motor saya, entahlah. 

Syukurnya tidak terjadi apa-apa. Hingga saya tiba ditujuan menjelang subuh. Jadi kalau dihitung sekitar 24 jam perjalanan. Berangkat subuh sampai subuh lagi. Edan. Betul. Ini benar-benar edan. Namun itulah takdir yang harus saya jalani saat itu.

Maka ketika malam harinya suara takbir berkumandang, perasaan saya haru biru. Ini untuk pertama kalinya saya merasakan Idul Fitri di kampung halaman. Merayakan Idul Fitri keesokan harinya tanpa berkumpul dengan ibu. Hanya bisa berkomunikasi melalui sambungan telepon. 

Ternyata sedih sekali jika masih memiliki orang tua namun tak bisa berkumpul di hari istimewa. Dari momen ini, saya bertekad untuk lebih menyayangi ibu. Memperlihatkan ibu sekembalinya ke Jakarta. Sebab rasanya tak enak sekali jauh dari ibu. Pokoknya ibu harus number one. Ibu, ibu, ibu. 

Hal tersebut yang memang saya lakukan terhadap ibu. Tak ada yang boleh menyakiti hati ibu. Apapun yang ibu mau sebisa mungkin harus bisa diwujudkan. Pokoknya momen setelah Idul Fitri 2014 tersebut menjadikan hidup dan mati saya untuk ibu. Ya, kebahagiaan ibu di atas segalanya. Saya begitu mengagungkan sosok ibu. 

Setiap akhir pekan, jika tidak menikmati makan malam di sebuah restoran yang ibu inginkan, berarti kami piknik ke suatu tempat yang ibu inginkan tentunya. Begitu hari-hari yang saya lalui selama beberapa bulan. Bekerja lalu menyenangkan ibu. 

Hanya beberapa bulan? Iya. Sebab di bukan Nopember 2014 ibu berpulang keharibaaan-Nya. Ya, Allah. Rupanya bulan Juli 2014 merupakan hari Raya Idul Fitri terakhir bagi ibu. Hanya berkisar 5 bulanan saja saya memanjakan ibu semanja-manjanya.

Tanpa sakit atau apa, ibu berpulang begitu saja. Menghembuskan napas terakhir di atas tempat tidur dengan dikelilingi kami anak-anaknya. 

Sedih. Tentu saja. Namun ada kelegaan. Sebab sudah mewujudkan semua yang ibu inginkan hingga akhir hayatnya. Oleh karenanya momen Idul Fitri 2014 menjadi momen yang berkesan bagi saya. Sebab dari situlah saya seolah diingatkan untuk memperhatikan ibu. Momen Idul Fitri tersebut juga menjadi semacam pemanasan bagi hati saya, yang rupanya akan kehilangan ibu untuk selamanya.

Saya sebut pemanasan, sebab di momen Idul Fitri itu juga untuk pertama kalinya saya tidak merayakannya bersama ibu. Setiap momen memiliki kisahnya sendiri. Dan inilah kisah saya. (EP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun