Mohon tunggu...
Deni Firman Nurhakim
Deni Firman Nurhakim Mohon Tunggu... Penulis - Santri dengan Tugas Tambahan sebagai Kepala KUA

Penghulu Kampung yang -semoga saja- Tidak Kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menelisik Stigma "Biaya Daftar Nikah di KUA Mahal!"

10 Juli 2020   15:01 Diperbarui: 11 Juli 2020   13:18 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN via KOMPAS.com)

Sedangkan Pekah awalnya adalah istilah yang digunakan oleh UU No. 22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk untuk menyebut "ongkos nikah" yang diberikan oleh orang yang hendak menikah kepada Pegawai Pencatat Nikah/PPN (lihat Paragraf 5 Penjelasan Umum UU No.22/1946). 

Namun, kini Pekah lazim diartikan sebagai biaya yang dibayarkan oleh calon mempelai kepada Amil (sering juga disebut dengan istilah "Pembantu Pegawai Pencatat Nikah"/P3N) untuk membantu mengurus proses pencatatan pernikahan mereka di KUA, mulai dari hulu (pendaftaran) sampai ke hilirnya (penyerahan Buku Nikah).

Dalam konteks tersebut, amil berkedudukan sebagai "wakil" atau "kuasa" dari calon mempelai yang menyewa jasanya. Boleh jadi, si penyewa jasa amil tersebut tidak memiliki keleluasaan waktu untuk mengurus berkas nikahnya, atau tidak mau repot mengurus berkas nikahnya itu ke desa/kelurahan (bahkan, kecamatan) dan kemudian mendaftarkannya ke KUA. 

Dan memang, keberadaan "wakil" calon mempelai untuk mendaftarkan nikah tersebut tidak terlarang, karena menurut Pasal 4 PP No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang memberitahukan kehendak nikah kepada Pegawai Pencatat Nikah adalah: calon mempelai, atau oleh orangtua atau wakilnya.

Amil: Pegawai KUA?

Mispersepsi lain yang juga timbul di kalangan masyarakat adalah soal kedudukan amil yang dianggap sebagai pegawai KUA. Sehingga saat amil menerima pekah dari warga yang menyewa jasanya itu diartikan sebagai pungutan liar (pungli) oleh pihak KUA, karena nominal pekah yang diterima amil tersebut melebihi tarif PNBP Nikah yang telah ditentukan dalam regulasi. 

Padahal, amil adalah pegawai desa/kelurahan yang membantu warga di dusunnya untuk mengurus berkas persyaratan nikah dan mendaftarkannya ke KUA Kecamatan setempat. 

Bahkan, di beberapa tempat, selain membantu mengurus pernikahan, amil juga diberi tugas tambahan lainnya, seperti pemulasaraan jenazah dan penghimpunan serta pendistribusian zakat fitrah.

Adanya salah tanggap di atas bisa dimaklumi, karena tugas dan fungsi Amil sebagai P3N banyak bersentuhan dengan KUA. Terlebih lagi, dulu, sebelum terbitnya Instruksi Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/113/2009 tentang Penggunaan Dana PNBP NR dan Penataan P3N, amil sebagai P3N diangkat dan di-SK-kan oleh Kementerian Agama (Kemenag) atas dasar usulan dari Kepala Desa/Lurah kepada Kepala KUA. 

Namun, setelah Instruksi tersebut terbit dan kemudian dikukuhkan dengan Instruksi dari Dirjen yang sama No.DJ.II/1/2015 tentang Pengangkatan P3N, maka yang diangkat oleh Kemenag itu hanya P3N untuk KUA dengan Tipologi D.1 (KUA yang secara geografis berada pada daerah terdalam, terluar, dan daerah perbatasan di daratan) dan D.2 (KUA yang secara geografis berada pada daerah terdalam, terluar, dan daerah perbatasan di kepulauan). 

Sedangkan untuk P3N di wilayah KUA dengan Tipologi A, B, dan C seperti di Jawa Barat ini tidak lagi diangkat dan di-SK-kan oleh Kemenag, melainkan oleh Kepala Desa/Lurah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun