Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sosbud: Sastra Lisan dan Eksistensi Wayang Kulit

8 Oktober 2021   09:16 Diperbarui: 8 Oktober 2021   09:36 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ki Dalang pakai pemukul kayu (cempala) dan kotak kayu besar, yang biasanya dipakai untuk menyimpan semua watak wayang, untuk memberitahu kepada pemain gamelan, musik macam apa yang harus dimainkan.

Sementara itu, wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh masuk gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Wayang kulit lebih popular di Jawa bagian tengah dan timur.

Di Bali, pertunjukan wayang kulit melibatkan antara 3 orang sampai 15 orang yang meliputi : dalang, pengiring dan jika diperlukan sepasang pembantu dalang (tututan). Komando tertinggi dalam pertunjukan Wayang Kulit ada pada si dalang. 

Untuk mementaskan wayang para dalang Bali memerlukan sekitar 125 - 130 lembar wayang yang disimpan dalam kotak wayang (kropak).                 

Dengan demikian, perkembangan wayang kulit di Indonesia akan terus melaju sesuai perkembangan zaman pula. Artinya, selama masih ada orang atau masyarakat yang dapat mempertahankan tradisinya maka kebudayaan wayang kulit tidak akan punah. 

Dari tahun ke tahun, dari waktu ke waktu, wayang kulit akan terus berkembang meskipun dengan perubahan yang mempertunjukkan kemodernisasian, tidak akan mengahalangi keeksistensian wayang kulit di Indonesia dan tidak akan mematikan tradisi yang ada.

  1. Hamid, Ismail. 1989. Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
  2. Mulyono, Sri. 1976. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Yayasan Nawangi dan PT Inaltu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun