Akhir-akhir ini, kita makin sering mendengar istilah childfree—pilihan sadar untuk tidak memiliki anak. Di media sosial, tema ini sering muncul dalam bentuk pernyataan tegas, “Hidupku bukan untuk reproduksi.” Beberapa menyebutnya bentuk kebebasan. Tapi, coba kita berhenti sejenak dan bertanya, benarkah ini murni pilihan bebas? Atau jangan-jangan ada lapisan yang lebih dalam di balik keputusan itu—lapisan yang menyentuh ranah eksistensial, spiritual, bahkan peradaban manusia itu sendiri?
Akar Filosofis: Childfree dan Krisis Makna
Kalau kita tarik ke dimensi filsafat, keputusan untuk childfree dapat kita lihat sebagai cermin dari krisis eksistensial manusia modern. Dalam dunia yang serba cepat, penuh ketidakpastian, dan terasa semakin “hampa”, banyak orang merasa kehilangan arah. Jean-Paul Sartre mengatakan, “Eksistensi mendahului esensi”—yang artinya, kita membentuk makna hidup kita sendiri. Tapi masalahnya, ketika hidup kehilangan orientasi moral dan makna transenden, kebebasan itu dapat berubah menjadi beban. Bukan ruang untuk tumbuh, tapi ruang yang penuh ketakutan untuk berkomitmen, termasuk terhadap kehidupan baru.
Banyak yang memilih childfree bukan karena membenci anak, tapi karena takut. Takut dunia yang makin rusak, takut gagal menjadi orang tua, takut kehilangan kebebasan pribadi. Tak sedikit juga yang trauma karena pola asuh di masa lalu, dan mereka memilih mengakhiri siklus itu. Alasan-alasan ini manusiawi. Tapi apakah keputusan itu benar-benar berasal dari tempat yang “bebas”? Atau justru dari ruang ketakutan dan luka yang belum sembuh?
Tanggung Jawab Antargenerasi dan “Ilusi Kebebasan”
Childfree seringkali muncul sebagai bentuk respon terhadap krisis sosial dan lingkungan—dari perubahan iklim sampai tekanan ekonomi. Tapi di sisi lain, keputusan ini dapat menimbulkan efek domino seperti krisis demografi, populasi menua, kekurangan tenaga kerja, sistem pensiun yang goyah. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan udah mulai panik karena hal ini. Jadi, meskipun childfree terlihat sebagai keputusan privat, ia membawa dampak kolektif yang cukup serius.
Pada kondisi ini sesuai dengan gagasan Kant soal moralitas: bahwa tindakan kita harus bisa dijadikan hukum universal. Nah, kalau semua orang memilih childfree, kita bisa bayangkan peradaban pasti akan berhenti. Bumi jadi museum tanpa pengunjung masa depan. Apakah ini bentuk tanggung jawab? Atau penghindaran dari tanggung jawab yang lebih besar?
Islam dan Pandangan tentang Keturunan: Bukan Sekadar Norma Sosial
Sekarang kita geser ke sudut pandang Islam, tapi kita masuk dari pintu yang lebih filosofis dan spiritual, bukan sekadar “karena agama nyuruh”. Dalam Islam, punya keturunan bukan cuma soal “melanjutkan garis keluarga”. Tapi lebih dari itu, anak adalah amanah (tanggung jawab suci) sekaligus karunia. Dalam QS. Asy-Syura ayat 49-50, Allah menjelaskan bahwa Dialah yang memberi keturunan atau tidak, dan semuanya mengandung hikmah.
Makna dalam memiliki anak bukan datang dari tuntutan sosial, tapi dari relasi eksistensial antara manusia, tanggung jawab, dan keterhubungan antar generasi. Dalam Islam, kita nggak hidup cuma buat diri sendiri. Kita adalah bagian dari umat, dari rangkaian sejarah panjang yang tidak berhenti pada kita. Ada tanggung jawab untuk meneruskan nilai, iman, dan amal saleh melalui generasi berikutnya. Ini bukan paksaan, tapi penawaran atas makna hidup yang lebih besar.