Mohon tunggu...
Dedi Syahputra El- Parom
Dedi Syahputra El- Parom Mohon Tunggu... -

Lahir di Aceh, berharap memejamkan mata terakhir di Aceh.., berpikir positif, realistis, mensyukuri dan menikmati apa yg kita miliki.. "bnyk ide cemerlang yg hilang sia-sia hanya karena yg mempunyai ide tidak berani untuk mengungkapkannya"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pahlawan yang Terlupakan

5 Juni 2011   06:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:51 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Mengenai Teuku Raja Tampok yang disebut dalam laporan politik yang lalu, seorang lawan kita yang terdamaikan itu telah dicari-cari 20 tahun yang lalu, hanya diterima berita yang samar-samar; namun demikian dapat dipastikan ia beserta istrinya tetap bertualang di paya-paya Seuneuam yang amat sukar ditembusi itu diberi makan oleh penduduk Seuneuam (Mailrapport No. 130/29)

Petikan singkat laporan Gubernur Aceh Goedhart tentang keadaaan politik di Aceh tahun 1928 di atas mengingatkan kita bahwa sejak 1908 T.R Tampok telah tampil sebagai pejuang dari gerilyawan Aceh (muslimin) yang cukup diperhitungkan oleh pemerintah kolonial terutama dalam penaklukan daerah Seunagan di Pantai Barat Aceh. Kemunculan T. R. Tampok sendiri sebagai salah seorang pemimpin perlawanan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan drama penaklukan wilayah Meulaboh umumnya dan Seunagan khususnya sejak penghujung abad ke-19 lalu.

Pemimpin perlawanan rakyat Seunagan dalam menghadapi Belanda pada mulanya berada di tangan T. Keumangan. Ia didampingi oleh putra pemimpin ulama terkemuka di daerah itu, Habib Nagan, yaitu Tgk. Padang Si Ali alias Sayid Yasin dan kemenakannya Tgk. Putik alias Said Abdur Rani. Dalam tahun 1902-1904 berlangsung peperangan yang cukup seru antara kesatuan-kesatuan Marsose Divisi 2 yang dipimpin Campioni dan Mathes yang bermarkas di Pulo Ie (kemudian Jeuram) dengan para gerilyawan bersangkutan (muslimin) yang menimbulkan banyak korban. Kapten Campioni sendiri gugur dalam suatu pertempuran, namun pasukan Belanda yang ter-organisir rapi dengan dukungan senjata dan logistik yang baik terlalu kuat untuk dikalahkan oleh pihak gerilyawan. Menyadari hal demikian pada bulan Januari 1905 T. Keumangan turun berdamai dengan Belanda (Du Cro, 1943: 62-63). Sebelas tahun kemudian ia diangkat sebagai zelfbestuurder Seunagan menggantikan saudaranya, T. Johan.

Turunnya T. Keumangan memang berpengaruh terhadap volume perlawanan, tetapi tidak berarti perlawanan menjadi berhenti. Persoalannya Tgk. Padang Siali dan Tgk. Putik masih tetap meneruskan perang gerilya. Dalam melakukan perlawanan terhadap tentara Marsose yang dipimpin Letnan H.J. Schmidt dan Kapten Baretta, mereka dibantu oleh beberapa orang ksatria terkemuka seperti T. Raja Tampok, T. Kapa, T. Itam. Para kesatria itu terdiri dari atas orang-orang pemberani, ahli siasat, dan trampil dalam mempergunakan kelewang.

Aksi perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang itu cukup merepotkan pasukan Marsose yang telah membangun bivak (asrama) di Jeuram dan Lam Ie di samping dua lainnya di Meulaboh dan Kuala Bhe. Masalahnya para pejuang itu sangat menguasai alam sekitarnya, tambahan lagi menurut Belanda sendiri (Du Cro, 1943 dan Goedhart, 1927), mereka adalah penyerang-penyerang berkelewang yang amat berbahaya yang disokong oleh keyakinan bahwa gugur dalam peperangan melawan kafir adalah syahid.

Apapun perlawanan yang mereka lakukan nyatanya pasukan Belanda yang terorganisasi rapi tidaklah mampu mereka enyahkan dari negeri Seunagan. Malah sejumlah ksatria mereka, termasuk T. Usman, anak Tgk. Putik, sendiri gugur dalam pertempuran dan sebagian lainnya luka atau tertawan. Atas prakarsa T. Keumangan, Tgk. Putik dan ± 40 orang pengikutnya pada bulan Oktober 1910 turun berdamai. Pada bulan Januari 1911 Tgk. Padang Si Ali, ayah Habib Muda, juga meniru langkah yang sama. Para ksatria yang turun itu ada yang terus berbaur dengan masyarakat kembali, seperti Tgk. Padang Si Ali dan ada pula yang oleh beberapa pertimbangan diasingkan ke luar daerah Aceh termasuk Tgk. Putik sendiri yang pada tahun 1918 diasingkan ke Banyumas, Jawa Tengah.

Pendirian Tgk. Putik dan Tgk. Padang Si Ali untuk berdamai rupanya tidak diikuti oleh T.R. Tampok. Masalahnya ia mengalami trauma yang cukup berat terhadap perlakuan keji yang dilakukan oleh serdadu Belanda terhadap orang tuanya T. Datuk Mat Sareh. Ketika tentara Marsose menggempur basis perlawanan mereka di Alu Bata, Tadu Atas, beberapa waktu lalu, ayahnya T. Datuk Mat Sareh yang sedang terbaring di atas dangau dibakar oleh serdadu Belanda sampai hangus bersama dengan dangau tersebut. Pada waktu menyaksikan mayat ayahnya yang telah jadi abu itu, ia pun bersumpah akan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai titik darah terakhir.

Terikat oleh sumpahnya itulah, maka T.Raja Tampok beserta istrinya Cut Caya, asal hulu Seunagan terus melajutkan gerilya dari satu hutan ke hutan yang lain atau dari satu rawa ke rawa yang lain di Tadu Alas, Seuneunam dan hulu Krueng Tripa. Di samping itu seorang panglima lain, yaitu Pang Karim -seperti T.R. Tampok- melakukan aksi gerilya di daerah Tripa. Mereka ini merupakan pemimpin gerilya yang sangat ditakuti dan dicari-cari oleh Belanda sebagaimana salah satu kutipan yang telah disebut di atas.

Kurang diketahui secara persis berapa jumlah pengikut T.R. Tampok selama masa gerilya dari satu hutan ke hutan tersebut. Menurut sumber intelejen Belanda kawanan T.R. Tampok dalam tahun 1926-1931 sekitar 12 orang. Pengikutnya itu berasal dari orang-orang yang tidak puas di dalam desanya yang berhasrat untuk menyalurkan perasaan tidak puas itu melalui perang sabil melawan kafir.

Dalam suasana perang gerilya T.R. Tampok menerapkan aturan-aturan yang keras kepada pengikutnya agar terhindar dari marabahaya. Para gerilyawan diharuskan menggunakan pakaian warna hitam. Lelaki dan perempuan memakai celana untuk memudahkan gerakan bila terjadi kontak senjata. Celana mereka berpotongan babah keumurah (di bawah lutut) dan baju bulat leher, sementara lelaku memakai destar yang juga berwarna hitam. Destar itu juga dapat digunakan sebagai kain selimut dan wadah mengangkut barang keperluan sehari-hari.

Operasi militer dan patroli yang dilakukan oleh serdadu Marsose yang berpangkalan di Lam Ie dan Jeuram hanya dapat mengurangi pengikut T.R. Tampok melalui berbagai kontak senjata, tetapi tidak mampu menangkap atau menewaskan T.R. Tampok sendiri. Akibatnya, T.R. Tampok luput dari kejaran Belanda hingga akhir masa kolonial Belanda di Aceh. Ketidakberhasilan Belanda tersebut justru meningkatkan reputasi T.R. Tampok di mata rakyat umum di negeri Seunagan melalui mitos yang disebarkan dari mulut ke mulut bahwa ia memiliki ilmu kebal, ilmu ureh (pengetahuan waktu-waktu yang cocok untuk bertindak agar selamat) dan peurabon (dapat hilang seketika atau menjelma menjadi makhluk lain).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun