Mohon tunggu...
Della Safitri Febriani
Della Safitri Febriani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hai! Saya Della Safitri Febriani, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontroversi Bupati Pati: Pemecatan Massal Tenaga Medis RSUD Pati menjadi Sorotan dalam Hukum Ketenagakerjaan.

24 Agustus 2025   11:04 Diperbarui: 24 Agustus 2025   11:04 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ditulis Oleh:

1. Della Safitri Febriani_30302300154

(Mahasiswa Fakultas Hukum UNISSULA)

2. Dr. Ira Alia Maerani, S.H.,M.H.

(Dosen Fakultas Hukum UNISSULA)

PATI -- Kebijakan kontroversial yang diambil oleh Bupati Pati, Sudewo, terus menarik perhatian publik setelah melakukan pemecatan massal terhadap 220 pegawai honorer RSUD dr. Soewondo Pati. Keputusan yang mendadak ini memicu gelombang protes, karena para pegawai diberhentikan tanpa mendapatkan pesangon atau kompensasi yang seharusnya mereka terima. Padahal, banyak dari mereka telah mengabdi selama bertahun-tahun, bahkan ada yang sudah bekerja puluhan tahun, untuk melayani masyarakat di bidang kesehatan. Kasus ini tidak hanya terkait dengan etika, moral dan keadilan, tetapi juga menyentuh aspek hukum ketenagakerjaan yang mengatur hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan.

Dalam kesaksian di depan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD Pati, sejumlah mantan pegawai mengungkapkan kekecewaan dan tangis haru atas perlakuan yang mereka alami. Salah satunya, Siti Masruhah yang mempertanyakan mengapa masa kerja yang lama tidak dipertimbangkan dalam keputusan pemecatan. Ia menilai, bahwa proses rekrutmen ulang yang dilakukan pemerintah daerah juga tidak transparan, karena hasil ujian kompetensi tidak pernah diumumkan kepada para peserta. Dari sudut pandang hukum, tindakan pemecatan ini dapat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan beberapa pasal yang relevan sebagai berikut:

  • Pasal 151 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa "Pengusaha, pekerja, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK)." Ini menunjukkan bahwa PHK seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah segala upaya ditempuh
  • Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 jo. UU Cipta Kerja mengatur bahwa "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima."  Ini menegaskan bahwa meskipun status pegawai adalah honorer, apabila hubungan kerja sudah lama terjalin, maka kompensasi masih harus diberikan.

Meskipun berstatus honorer, tenaga kerja yang telah lama mengabdi seharusnya memperoleh perlindungan berupa kompensasi atau penghargaan masa kerja. Pemecatan yang dilakukan sepihak tanpa memberikan kompensasi dianggap sebagai bentuk ketidakadilan dalam hubungan industrial. Selain itu, Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah memberikan peringatan kepada Pemerintah Kabupaten Pati mengenai manajemen sumber daya manusia di RSUD tersebut. Ini menunjukkan adanya masalah dalam tata kelola yang tidak sesuai prosedur. Kementerian Dalam Negeri juga turut menyoroti kebijakan Bupati Pati, meskipun lebih menekankan pada masalah kenaikan pajak daerah.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pemerintah daerah memiliki hak penuh untuk memberhentikan pegawai honorer tanpa dasar pertimbangan hukum yang jelas, ataukah mereka harus mengikuti prinsip perlindungan tenaga kerja yang berlaku secara nasional? Jika merujuk pada semangat UU Ketenagakerjaan, pekerja dalam kondisi apapun tetap memiliki hak dasar yang harus dihormati. Selanjutnya, Analisis Langkah Hukum yang dapat diambil oleh Pegawai RSUD Pati untuk melawan PHK sepihak berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), dimana perselisihan antara pekerja dan pemberi kerja harus diselesaikan melalui beberapa tahap:

  • Perundingan Bipartit: Pekerja (atau perwakilan) dan Pemkab Pati sebagai pemberi kerja harus lebih dulu melakukan perundingan secara langsung. Apabila dalam 30 hari tidak tercapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat melanjutkan ke tahap berikutnya.
  • Mediasi/ Konsiliasi/ Arbitrase: Sengketa kemudian dapat diserahkan ke mediator hubungan industrial dari Dinas Ketenagakerjaan. Mediator akan mengeluarkan anjuran tertulis. Jika kedua pihak tidak sepakat, barulah perselisihan bisa dibawa ke pengadilan.
  • Pengadilan Hubungan Industrial (PHI): Sebagai jalur terakhir, pegawai dapat mengajukan gugatan ke PHI di Pengadilan Negeri setempat. Hakim akan menilai legalitas PHK dan kewajiban pembayaran kompensasi.

Permasalahan pemecatan ratusan pegawai di RSUD Soewondo Pati mencerminkan lemahnya perlindungan tenaga kerja di tingkat daerah. Keputusan yang diambil sepihak tanpa memberikan kompensasi tidak hanya menyebabkan kerugian sosial, tetapi juga berpotensi memunculkan sengketa hukum yang lebih luas. Kasus ini sekaligus mengingatkan kita bahwa setiap kebijakan ketenagakerjaan harus selaras dengan aturan hukum yang berlaku, mengedepankan asas keadilan, dan menghormati jasa para pekerja yang telah lama mengabdi. Jika tidak, maka yang lahir adalah ketidakpastian hukum dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.

  • Sumber Referensi:

Beritasatu.com. "Kebijakan Arogan Bupati Pati: 220 Pegawai RSUD Dipecat Tanpa Pesangon." https://www.beritasatu.com/jateng/2912403/kebijakan-arogan-bupati-pati-220-pegawai-rsud-dipecat-tanpa-pesangond 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun