Pelaut terombang ambing antara ketakutan dan harapan.
Jika pelaut dan pelampung lenyap, tiada lagi harapan kecuali perahu karam .Â
Syamsi Tabriz, kau laut dan mutiara dalam laut itu !
Wujudmu tiasa selain rahasia Sang Pencipta!Â
Itu penggalan sajak "Cinta" Jalaludin Rumi . Dengan larik-larik katanya itulah sebagaimana terjemahan Abdul Hadi WM, menorehkan pengalaman transendennya. Ia memikat sekaligus mendedahkan langkah seorang pejalan sunyi .
Pengalaman rohani seorang menjadi pelajaran bagi kehidupan pelakunya. Juga bagi orang lain . Tentu hal itu bila disampaikan dengan pernyataan yang mempertimbangkan nilai-nilai artistik dan estetika. Kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaan tentang pengalaman religius dan bahasa yang indah, seringkali muncul lewat kehadiran puisi sufistik. Ia sekaligus menyimpan dalaman makna dan keindahan bahasa.
Sekaligus dengan cara demikian merupakan sikap untuk menyanggah mereka yang kerap mendewa-dewakan akal dan indra dalam menentukan kebenaran. Bagi kelompok yang mengagung-agungkan akal kebenaran baru dianggap benar bila mampu dicapai oleh indra dan akal . Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indra dan akal cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui . Â
Kaum sufi mengajarkan, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakikat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.Â
Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakikat keagamaan menurut penyair sufi Jalaludin Rumi, "adalah gagasan yang dipelopori kelompok mu'tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indra. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.Â
Bagi Rumi, tak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir . Seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat . "Padahal yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya . Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya? tegas Rumi .
Pengalaman rohani seseorang memang diceritakan. Memang terdapat sebuah kelompok yang memberikan arahan bagi mereka yang dalam Islam, itu diceritakan kepada masing-masing penganutnya hingga terkesan sebagai semacam kesombongan. Mereka membanggakan diri mempunyai pengalaman ghaib, yang seolah-olah telah mencapai kebenaran dengan jalan rohani yang dialaminya itu. Kesan menyombongkan diri, kebanggaan dan akan kemampuannya mencapai kedekatan kepada Tuhan itu, barangkali akan bisa terkurangi bila pengalaman rohani itu disampaikan dengan bahasa yang indah sebagai pengalaman-pengalaman kritik seseorang yang khas, dalam bentuk puisi .Â
Kekuatan puisi Rumi adalah karena ia sangat mahir menggunakan metafora . Orang Persia menyebutnya, zarbul matsal. Ia membimbing para pembacanya untuk memahami konsep-konsep yang sulit atau sekedar meyakini argumentasi yang dikemukakannya Dengan berpikir analogis ; alih-alih berpikir logis. Ketika seorang ahli fiqih mengkritik dia karena berzikir sambil menari, Rumi membuat analogi . Bukankah dalam hal fikihada kaidah "hal yang membayangkan membahayakan dapat membenarkan hal yang dilarang." Kita boleh makan yang haram, jika tubuh kita terancam kematian . Sekiranya menari itu haram itu terpaksa dilakukan ketimbang roh kita mengalami kematian. Ia analogikan kematian dengan kematian tubuh .
Dengan metafora, sebagai ciri lazimnya puisi, pengalaman akan kebenaran seseorang setelah berdekat-dekat dengan Tuhan, memberikan pencerahannya sekaligus bagi pembacanya bila hal itu diungkapkan lewat keindahan bahasa.Â
Pengalaman menangkap suasana batin seorang penyair, bisa jadi jalan bagi orang lain untuk turut merasakan keindahan seseorang dalam mengungkapkan kerinduannya kepada keabadian, transendental. Sebuah kerinduan yang dihadirkan para pencari kebenaran. Sebagai ikhtiar mendekatkan diri seseorang pada Tuhan, akan memperoleh pemanahan yang harus di dalam puisi-puisi sufistik .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H