Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PT Dirgantara Indonesia dan Kebangkitan Industri Pesawat Terbang Nusantara

4 Juli 2020   09:15 Diperbarui: 4 Juli 2020   09:10 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun entah bagaimana, bila kita melihat catatan keuangan yang tersebar di media, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) ini bisa pulih. Meski rugi hingga Rp 3,92 triliun dengan ekuitas negatif Rp 14,67 miliar pada 2007, sejak tahun 2009 sampai 2014 PTDI memperoleh kontrak RP 18,95 Triliun dan penjualan Rp 13,97 triliun yang terdiri dari kontrak dengan pemerintah, 70%, dan non-pemerintah/luar negeri, 30%. Karenanya di akhir tahun 2014, PTDI mendapat laba sebesar US$ 19,3 Juta (Rp 250 Milyar). Meski perusahaan dirgantara global terus meningkat, terakhir tahun 2019 dinyatakan bahwa pendapatan perseroan naik hingga US$ 259,7 Juta hingga endapat laba bersih US$ 10,5 Juta    

Puncak kebangkitan PTDI sepertinya terlihat ketika perusahaan negara ini berhasil launching pesawat terbarunya; N-219 Nurtanio. Sebuah pesawat komersial serbaguna. Bisa membawa 19 penumpang dan juga kargo serta terbang dan mendarat di landasan pendek. Sangat cocok beroperasi untuk negara seperti Indonesia yang memiliki banyak daerah terpencil.

N-219 sendiri bukan hanya sangat penting bagi PTDI, tetapi juga bagi industri pesawat terbang nusantara. Karena industri dirgantara meyakini bahwa memproduksi pesawat komersil akan menjadikan perusahaan lebih stabil dan mendapat keuntungan lebih besar. Ketimbang hanya menerima mendapat kontrak kerja dengan militer atau sub kontraktor perusahaan dirgantara dunia. Seperti yang sudah ditunjukan oleh dua raksasa dirgantara dunia; Airbus dan Boeing. Terlebih design dan produksi N-219 semuanya dilakukan oleh orang Indonesia.

Bila kita membaca catatan perjalanan PTDI setelah kebangkrutan, sepertinya kita memang harus memberikan kredit point kepada direksi dan pegawai PTDI hasil restruksasi pasca krisis moneter. Perusahaan ini sempat dicibir karena menerima kontrak pekerjaan pembuatan panci. Namun dibalik itu sebetulnya terlihat ada semangat kebangkitan. Itikad untuk memulai kembali dari dasar dengan mengerjakan apa yang bisa dikerjakan. Sampai mengerjakan sesuatu yang tidak pernah terbayang sebelumnya; memproduksi panci.

Hal yang menarik adalah ketika PTDI launching N-219 Nurtanio pada tahun 2017. Sebagaimana disebut sebelumnya, memproduksi pesawat komersial adalah tujuan besar sebuah pabrik pesawat. Karena dengan memproduksi pesawat komersil, perusahaan akan lebih stabil dan maju. Tidak mengandalkan pekerjaan sebagai sub kontraktor. Karenanya memproduksi pesawat berpenumpang kecil seperti N-219, adalah langkah awal untuk masuk ke pembuatan perusahaan komersial yang berkapasitas lebih besar lagi.

Namun dalam rancangan dan pembuatan pesawat baru bukanlah proses 1-2 tahun tapi lebih dari 5 tahun. Menurut wikipedia, ide N-219 dimulai pada tahun 2003. Bagian dari pembenahan yang berjalan sampai 5 tahun ke depan. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi beberapa lini produk seperti CN-212, NAS-332 Super Puma, BO-105 dan Bell 412. Proyek ini juga diharapkan membuka kerjasama antar negara Asia Tenggara.

Jadi ketika orang mencibir PTDI karena sudah mendegradasi dirinya dari pabrik pesawat terbang yang bernuansa hi-tech dengan memproduksi panci yang tidak ada kandungan teknologinya, pada saat bersamaan PTDI ternyata sedang merancang masa depan. Merencanakan membuat pesawat baru dengan rancangan dan produksinya dilakukan sendiri. Jadi bila PTDI sebelumnya lekat dengan figur Alm Habibie yang ambisius dan suka bergerak cepat, PTDI seperti berjalan lambat tapi pasti. Mungkin karena ini juga Alm Habibie sempat gemas dan nyeletuk kalau N-219 itu pesawat maianan.

Namun bila PTDI berhasil berbenah seperti sekarang, maka dia tidak hanya berhasil membangkitkan kembali industri dirgantara nasional, tapi juga menyambut ide Alm Habibie tentang R80. Sebuah pesawat baling-baling yang mampu membawa 80-90 penumpang untuk penerbangan dan landasan jarak pendek. R80 bukan hanya dibutuhkan negara seperti Indonesia, tetapi juga negara-negara Arika dan Amerika Latin. Meski baru direncanakan mulai terbang tahun 2022, pesawat ini sudah dipesan 155 unit sehingga dianggap sebagai proyek yang sangat prospektif.

Bila PTDI bisa sinergi dengan proyek R80, maka industri dirgantara nasional kita akan terus melangkah lebih jauh. Masuk ke pembuatan pesawat komersil dengan terus membuat pesawat komersil berspesifikasi lebih besar

liputan6
liputan6

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun