Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Bad Genius" Film Pendidikan dari Thailand Sarat Pesan

13 Juni 2018   11:20 Diperbarui: 13 Juni 2018   11:34 1348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Ada banyak film mengenai Pendidikan yang layak tonton. Mulai dari film lokal "Laskar Pelangi", film Hollywood "Dead Poet Society", film Bolywood "3 idiots", "The First Grader" dari Kenya, sampai dengan "Bad Genius" dari Thailand. Masing-masing film diatas, mengurai sisi dunia pendidikan yang selama ini kita abai untuk memperhatikannya atau keliru memahaminya. Sisi dunia pendidikan yang menghambat tujuan dasar dari Pendidikan itu sendiri sebagai sarana mencerdaskan dan memanusiakan peserta didik.

Diadaptasi dari novel Best Seller karya Andrea Hirata, "Laskar Pelangi" menceritakan sisi kelam pelaksanaan pendidikan di Indonesia dengan problem utama buruknya Infrastruktur dan suprastruktur Pendidikan di Indonesia. 

Sekolah reyot, masyarakat miskin dan pembangunan ekonomi yang tidak tertata dengan baik, menjadi  faktor utama tenggelamnya benih-benih unggul anak-anak Indonesia yang mempunyai potensi cemerlang untuk dikembangkan. Figur seperti Lintang yang mempunyai otak cemerlang, mesti mengubur dalam-dalam mimpinya untuk bersekolah ke Perguruan Tinggi.

Karena problem pendidikan ada pada sisi struktural yang akut dan tidak bisa diselesaikan dalam masa singkat, maka orang hanya bisa keluar dari problem ini berpegang pada inisiatif-inisiatif yang bersifat personal. Menjaga antusiasme, membangun semangat pantang menyerah dan senantiasa menumbuhkan harapan adalah solusi dari situasi pendidikan yang kronis ini. 

Pada diri Ikal lah kemudian hal-hal diatas direpresentasikan. Ikal yang secara kecerdasan masih kalah dibanding Lintang, tapi mampu kuliah di Luar Negeri karena bermodal semangat dan antusiasme.

Dalam beberapa hal, mungkin sisi ini juga yang ditampilkan dalam "The First Grader". Sebuah film Pendidikan yang memotret pelaksanaan pendidikan gratis di Kenya. Seperti juga "Laskar Pelangi", film ini diilhami dari kisah nyata seorang Maruge yang ingin mengikuti program Pendidikan Gratis pemerintah Kenya. 

Maruge adalah orang Kenya pertama yang berbicara di forum PBB yang mengingatkan pentingnya Pendidikan Gratis, yang dalam umur 85 tahun tidak bisa membaca tetapi bersikeras masuk sekolah untuk bisa belajar membaca. Meskipun lingkungan masyarakat dan aturan sekolah melarang dia untuk ikut.

Tetapi berbeda dengan Laskar Pelangi, The First Grader juga secara vulgar mengungkap kolonialisme Inggris, buruknya birokrasi di negara dunia ketiga serta politisi korup sebagai faktor utama penyebab mundurnya pendidikan di Kenya. Maruge yang sudah berusia lanjut dan sangat ingin bisa membaca supaya bisa mengetahui dan menuntut hak-hak nya sebagai mantan pejuang kemerdekaan Kenya, mesti mengeluarkan tenaga ekstra untuk bisa menikmati pendidikan gratis di Kenya.  

Berbeda dengan dua film diatas yang sarat dengan keharuan dan kesedihan, "3 Idiots" mengemas problem kronis pendidikan dalam rangkaian adegan yang membuat kita tertawa. Tentunya dengan tidak melepaskan ciri khas film Bollywood yang selalu menyisipkan roman dan nyanyian dalam setiap filmnya.

3 Idiots hendak mengingatkan tentang hakekat dasar belajar dan fungsi dari lembaga pendidikan itu sendiri. Belajar adalah upaya untuk menggali dan memaksimalkan segala potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Potensi inilah yang pada akhirnya akan menjadi tumpuan kehidupan seorang murid di masa yang akan datang. Sementara itu, lembaga pendidikan mestinya adalah institusi yang di design supaya anak didik bisa mengeksplore seluruh potensi yang ada dalam dirinya.

Film ini seperti sedang mengkritik institusi pendidikan yang diperlakukan tidak jauh berbeda dengan pabrik tenaga kerja. Peserta didik adalah orang-orang yang harus siap memasuki dunia kerja selepas sekolah, bukan berkarya selepas belajar. Karena sekolah dianggap pabrik, maka peserta didik pun diperlakukan seperti layaknya barang. Terus menerus ditekan demi menghasilkan output yang sesuai dengan standard dunia industri, dengan mengabaikan sisi potensi dan kemanusiaan yang dimilikinya. Ijazah adalah hasil akhir sekolah bukan kemampuan.

Senada dengan koreksi oleh 3 Idiots, Robbie William melakukan hal yang mirip dalam "Dead Poet Society", tetapi dengan fokus mengungkap pentingnya "Puisi" sebagai media pendidikan yang sangat penting bagi perkembangan setiap murid. 

Di tengah pendewaan terhadap science atau ilmu-ilmu pasti yang dianggap menjadi variable penting tercapainya masa depan cerah, film ini mengingatkan tentang seni sebagai sesuatu yang dibutuhkan manusia. 

Science hanya mengajarkan pengetahuan tekhnis manusia yang akan berguna ketika memasuki dunia kerja, tetapi Puisi membangun semangat, harapan dan antusiasme yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang dimanapun dia berada. Tidak terbatas hanya di dunia kerja.

Mungkin karena film ini datang dari negara maju yang relatif sudah mapan dalam hal pelaksanaan pendidikan, maka problem pendidikan yang diungkap pun lebih spesifik pada mata pelajaran dan cara menyampaikan.

Tetapi "Bad Genius" mencoba mengurai sisi lain dari dunia pendidikan yang selama ini ada tapi kita lupa melihatannya sebagai sebuah problem serius. Secara  singkat, "Bad Genius" menceritakan tentang siswa yang cerdas yang mengkapitalisasi kecerdasannya demi mendapat keuntungan material. Ada banyak hal menarik yang diungkap dalam film ini. Seperti tentang kecerdasan, efek komersialisasi institusi pendidikan juga mungkin perjalanan hidup manusia ketika dihadapkan dengan kekeliruan dan kesalahan.

"Bad Genius" memang menggambarkan tentang cara seorang murid yang pintar yang memberikan contekan kepada teman-temannya yang kaya raya demi imbalan uang. Sekilas terlihat bahwa murid ini sudah bersalah karena sudah melakukan kekeliruan.

Tetapi dialog-dialog berikutnya seperti mengurai kenapa kemudian kecurangan seperti ini muncul. Bila si murid salah karena sudah mengkapitalisasi kecerdasannya, lalu kenapa sekolah tidak dianggap salah karena dia sudah mengkapitalisasi lembaga pendidikan dengan pungutan-pungutan liarnya terhadap orang tua?Apa bedanya kapitalisasi yang dilakukan si murid dengan kapitalisasi yang dilakukan sekolah?

Para murid memang salah dengan melakukan kecurangan dalam mengikuti ujian. Mereka bekerjasama mengumpulkan uang untuk membayar Lynn dan Bank, dua murid jenius, supaya membantu mereka lolos mengikuti ujian dan bisa masuk perguruan tinggi elite. Tetapi bagaimana dengan posisi orang tua mereka?Orang tua yang selalu mengkaitkan pendidikan anak-anak mereka dengan uang dan lembaga pendidikan yang elite. 

Toh pada faktanya seorang Lynn pun meski dia memanfaatkan kecerdasannya demi uang, dia tetaplah pribadi yang mempunyai karakther. Ketika dia mendapat uang itu, yang dia pikirkan justru Bapak nya yang menjadi single parent yang kesulitan secara ekonomis. Secara simbolik hal itu ditunjukan pada upaya Lynn memberikan Bapaknya kemeja yang sangat dia sukai. Sementara ketika teman-temannya orang kaya yang membayar Lynn untuk membantu mereka, justru berlaku seperti itu karena ambisi orang tua mereka.

Tidak seperti film "Freedom Writers"  atau "3 Idiots" yang mengkritisi cara belajar yang baik supaya pintar, maka "Bad Genius" mengungkap sisi lain dari cara memakai kepintaran yang sudah dimiliki. Kepintaran ibarat pedang bermata dua. Bisa menjadi sesuatu yang bisa digunakan hal yang konstruktif, bisa juga menjadi sesuatu yang destruktif.

Mungkin diantara hal yang menggugah dari film ini adalah cara kita menghadapi kesalahan di masa lalu dan merangkai masa depan dengan kesalahan yang dilakukan di masa lalu. Pengingatan penting ini muncul secara dramatis dan mengharukan pada diri Lynn dan Bank.

Awal film ini mengungkapkan tentang seorang Lynn. Perempuan yang cerdas, hidup pas-pasan dan mulai tertarik mengkapitalisasi kecerdasannya dengan memberikan contekan pada anak-anak orang kaya dengan imbalan uang. 

Memasuki pertengahan film, muncul lah figur seorang Bank. Lelaki jenius yang secara ekonomi tidak jauh berbeda dengan Lynn tapi bersikeras tidak ingin melakukan praktek kecurangan seperti yang dilakukan Lynn.

Singkat cerita, Bank bisa dijebak untuk bersama-sama Lynn membantu anak-anak orang kaya lulus ujian dengan imbalan uang. Bank yang idealis, mengikuti langkah Lynn yang curang demi mendapatkan uang untuk melanjutkan sekolah.

Tetapi akhir yang dramatis dan terbalik menjadi pembeda antar keduanya. Lynn yang memulai kecurangan, sadar akan kekeliruannya. Dia pun memutuskan berhenti tidak ingin melakukan kecurangan itu lagi. 

Hal yang menjadi luar biasa adalah, Lynn tidak hanya berani mengakui segala kesalahan dan menerima segala konsekuensinya, tetapi dia juga berani menatap masa depannya di dunia pendidikan dengan tanpa menutupi kekeliruannya di dunia pendidikan pada masa yang lalu. Lynn seperti siap berjalan dengan tegap menghadapi masa depan tanpa mau menyembunyikan kekeliruannya di masa lalu.

Hal terbalik dengan Bank temannya. Bank yang semula begitu idealis, teguh memegang pendirian dan tidak ingin berbuat curang, justru seperti ingin melanjutkan kecurangan yang sudah dia mulai karena tergiur oleh uang yang akan dia peroleh. Bank seperti akan melanjutkan kekeliruannya di masa lalu untuk melanjutkan kehidupannya di masa yang akan datang.

Menonton apa yang terjadi para Lynn dan Bank di akhir film, seperti mengingatkan kita akan ujaran populer dari pujangga Irlandia ternama, Oscar Wilde bahwa "Every saint has a past and every sinner has a future"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun