Sebagai mahasiswa tingkat akhir, saya seharusnya merasa bangga saat kampus tempat saya menimba ilmu mengalami perubahan status kelembagaan---dari IAIN menjadi UIN. Secara teoritis, ini adalah langkah maju; sebuah pencapaian yang menandakan perluasan mandat akademik, penguatan institusi, dan harapan akan peningkatan mutu pendidikan. Tapi entah mengapa, rasa senang itu tidak datang dengan utuh. Alih-alih merasa bangga, yang muncul justru perasaan ambigu, bahkan sesekali frustrasi.
Bagaimana tidak? Di tengah gegap gempita perubahan nama dan status tersebut, kondisi riil di lapangan tampaknya tidak mengalami peningkatan signifikan. Fasilitas kampus tetap seadanya---kalau bukan malah berkurang karena dalih efisiensi. Beberapa layanan yang sebelumnya tersedia dengan cukup baik kini justru menurun kualitasnya. Rasanya aneh saja, ketika sebuah institusi mengklaim telah "naik kelas", tetapi infrastruktur dan layanan dasar justru stagnan, atau bahkan mundur. Ini membuat kami, para mahasiswa, bertanya-tanya: sebenarnya tujuan utama dari alih status ini apa? Apakah benar-benar untuk peningkatan kualitas dan kapasitas? Ataukah hanya formalitas administratif yang sekadar mengubah nama dan nomenklatur?
Ironisnya lagi, hingga kini kampus kami belum juga memiliki logo resmi sebagai UIN. Tidak ada sayembara, tidak ada partisipasi publik, dan yang lebih menyedihkan: tidak ada penjelasan. Logo adalah identitas visual yang penting dalam membangun brand institusi. Ketika institusi lain bisa menyiapkan perubahan statusnya jauh-jauh hari---bahkan dengan menggelar sayembara terbuka untuk menciptakan rasa kepemilikan bersama---kami justru merasa seperti penonton pasif dalam transisi yang seharusnya menjadi momen kolektif.
Kebingungan ini makin menjadi ketika membicarakan soal administratif dan legalitas kelulusan. Pertanyaannya sederhana namun krusial: nanti di ijazah kami akan tertulis "IAIN" atau "UIN"? Jika sudah menjadi UIN, bukankah seharusnya akreditasi institusi juga diperbarui? Bagaimana implikasinya terhadap ijazah kami? Bukankah ijazah adalah dokumen legal yang akan menentukan masa depan kami di dunia kerja maupun studi lanjut?
Situasi menjadi makin pelik karena yudisium dan wisuda pun belum jelas tanggalnya. Ini bukan sekadar urusan seremoni. Ini tentang kepastian administrasi, tentang rasa tenang menyelesaikan satu fase kehidupan. Di tengah segala ketidakpastian ini, mahasiswa seolah menjadi pihak terakhir yang dipikirkan, padahal kami adalah elemen utama dalam ekosistem perguruan tinggi.
Alih status seharusnya menjadi titik tolak menuju peningkatan mutu, bukan sekadar kosmetik institusional. Tanpa kesiapan infrastruktur, komunikasi yang transparan, dan keterlibatan mahasiswa dalam proses transisi, maka perubahan ini justru terasa hampa. Sebagai mahasiswa, saya hanya ingin merasa yakin bahwa kampus saya memang berkembang---bukan hanya berubah nama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI