Oleh: DEKDI, S.Pd.
Di zaman yang serba instan dan digital ini, kita sering kali lupa bahwa akar jati diri bangsa terletak pada nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satunya adalah cerita rakyat dan tradisi lokal yang menyimpan filosofi kehidupan mendalam. Dalam konteks inilah, kisah asal-usul Desa Ludai di Kampar Kiri Hulu, Riau, menjadi sangat relevan untuk diangkat kembali ke permukaan.
Desa Ludai bukan hanya sekadar nama di peta. Ia adalah simbol dari dialog antar suku, bentangan alam yang belum terjamah industri, dan jejak kearifan lokal yang berhasil bertahan dari gempuran zaman. Ketika masyarakat adat di sana berbeda isu pehaman tentang asal muasal nama desa mereka---antara kayu ludai dan kayu kelidai---yang terjadi bukanlah perpecahan, melainkan musyawarah adat yang berakhir damai. Inilah bukti bahwa demokrasi deliberative  sudah hidup dalam sistem sosial tradisional kita jauh sebelum istilah itu populer.
Ada pelajaran besar di balik rapat adat lima suku kala itu. Bukan hanya soal nama, tetapi tentang bagaimana masyarakat bisa menyelesaikan perbedaan dengan kepala dingin, tanpa harus saling menyerang, tanpa mengorbankan persaudaraan. Betapa kontrasnya dengan kondisi hari ini, ketika perbedaan kecil bisa memicu konflik besar, bahkan di ruang digital sekalipun.
Lebih jauh lagi, kisah Ludai menunjukkan bahwa masyarakat tradisional mampu menjaga kelestarian alam tanpa jargon "ekowisata" atau "sustainability". Mereka hidup berdampingan dengan hutan, sungai, dan tanah yang diwariskan. Praktik bertani berpindah-pindah kala itu, ritual mandi balimau kasai, dan pengolahan kayu ludai yang menyatu dengan beringin tua sebagai tambatan perahu adalah cerminan bagaimana budaya dan alam bisa bersinergi secara organik.
Namun, yang memprihatinkan, cerita-cerita seperti ini nyaris tak terdengar di sekolah, apalagi di media massa. Padahal, di sanalah identitas kita disemai. Jika kita ingin anak-anak bangsa mengenal siapa dirinya, maka mereka harus akrab dengan cerita-cerita seperti ini yang masih sangat banyak belum tergali di pelosak negeri tercinta ini untuk di jadikan reverensi  ilmu pengetahuan dalam melesterikan kearifan lokal. Bukan hanya tentang tokoh-tokoh fiktif  luar negeri, tetapi juga tentang datuk-datuk bijak di tanah air sendiri yang menyelesaikan perbedaan dengan hikmat dan bijak,sehingga dapat diterima oleh kalangan adat pada masa itu,hingga kini.
Kini, tantangannya adalah: apakah kita masih peduli untuk menjaga kisah-kisah seperti Ludai? Ataukah kita rela membiarkannya tenggelam di arus modernisasi yang tak mengenal kompromi?
Sudah saatnya kita mengakui bahwa pelestarian budaya bukanlah tugas orang desa saja. Ia tanggung jawab semua pihak: guru, jurnalis, akademisi, politisi, bahkan netizen. Jangan sampai tunggul kayu ludai yang membatu menjadi satu-satunya saksi bisu dari sejarah yang dilupakan bangsanya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI