Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Neo-Eksotisisme dalam Banyuwangi Festival

6 Juni 2023   14:57 Diperbarui: 11 Juni 2023   07:27 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberhasilan FGS dengan formula festivalisasi kesenian etnis tanpa meninggalkan pakem dalam sajian pertunjukannya men dorong pemerintah kabupaten Banyuwangi untuk menggelar event-event spektakuler lain, seperti Festival Angklung Caruk, Festival Kuntulan Caruk, Festival Lalare, Festival Batik Banyuwangi, dan yang lain. 

Model neo-eksotisisme melalui festivalisasi kesenian etnis memang tampak menjanjikan. Pelibatan kaum muda dalam event festival tampak memberikan harapan akan terjaminnya regenerasi budaya lokal. Para peserta bisa belajar kesenian-kesenian etnis yang diposisikan sebagai pendukung identitas lokal. 

Mereka diharapkan memiliki skill koreografi gandrung dan kesenian-kesenian lainnya. Negosisasi makna dan bentuk kesenian etnis kepada para wisatawan domestik dan mancanegara merpakan soft diplomacy untuk memberikan kesan positif terhadap keindahan dan keunikan eksotis Banyuwangi.

Sayangnya, wacana festivalisasi kesenian etnis sebagai tindakan pemajuan kebudayaan, sebagaimana disampaikan oleh Bupati Anas ketika memberikan sambutan pada FGS 2019, perlu dikritisi. 

Wacana tersebut merujuk kepada UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan di mana pemerintah memimpin usaha untuk menjadikan kebudayaan berkembang dan maju melalui langkah strategis dan praksis, termasuk pelestarian dan pemberdayaan. 

Kalau membicarakan pelestarian, hal pertama yang harus diperhatikan adalah bagaimana keberlanjutan sebuah kesenian dari satu generasi ke generasi berikutnya.. Memang, Pemkab memerintahkan setiap kecamatan mengirim siswa SMP dan SMA untuk mengikuti latihan selama beberapa kali agar mereka bisa menarikan tarian yang akan dipertontonkan dalam FGS. 


Namun, pelatihan itu hanya dilakukan untuk keperluan festival, bukan untuk mendidik calon penari gandrung terob. Maka, kemeriahan FGS dengan liputan media dan kilatan blits kamera para fotografer dan wisatawan tidak berkorelasi secara positif dengan regenesari gandrung terob.

Ragam Festival di Desa

Dampak kemeriahan dan pemberitaan BEC yag cukup, mendorong warga dan perangkat desa berlomba-lomba untuk membuat event lokal. Tujuan utamanya adalah agar masuk dalam agenda B-Fest sehingga bisa mendapatkan dana dari Pemkab Banyuwangi. J

awaban normatif penyelenggara ketika kami tanya tujuan penyelenggaraa festival budaya tingkat desa adalah untuk memberdayakan budaya lokal dan merintis industri pariwisata berbasis-komunitas yang menyejahterakan. Tentu saja, jawaban tersebut menjadi bagian formasi diskursif pemberdayaan budaya lokal sebagaimana diwacanakan oleh rezim Anas. Masyarakat dan perangkat desa, dengan demikian, memosisikan BEC dan formula neo-eksotisismenya sebagai rezim kebenaran yang bisa ditiru dalam bentuk program wisata budaya unik yang ada masing-masing desa.

Beberapa acara level desa yang sudah masuk agenda B-Fest adalah Festival Ngopi Sepuluh Ewu, Festival Sego Lemeng & Kopi Uthek, Festival Puter Kayun, Festival Bambu Gintangan, dan yang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun