Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Penulis

Peminat Sejarah, Budaya dan Kajian Keamanan Nasional. Cita-cita jadi anggota KOWAL tapi gagal karena mabuk laut. Ingin jadi WARA tapi phobia ketinggian. Ingin jadi Diplomat tapi TOEFL belum 600.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jualan "Candu" ala Media Massa Dalam Konflik Israel-Palestina

3 Juli 2025   15:44 Diperbarui: 4 Juli 2025   16:10 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bendera Palestina dan Israel (Sumber : Heta News) 

Beberapa hari lalu saya menonton sebuah acara di Stasiun TV Nasional TVOne yang dipandu oleh Andromeda Mercury, hal ini berkaitan dengan konflik Israel - Iran hingga kembali ke bahasan konflik Israel-Palestina. Saya percaya media massa memiliki kualitas yang mumpuni dalam memberikan edukasi terkini bagi masyarakat jika mengadakan diskusi terkait suatu fenomena faktual tetapi sayangnya tidak ada bedanya dengan diskusi di warung kopi, selain sensasi sisanya hanya angin. Konflik seperti ini seharusnya dibicarakan atau didiskusikan oleh mereka yang paham terhadap hubungan internasional, strategi perang dan intelijen atau apapun yang terkait dengan bidang keamanan dan politik. 

Alih-alih mencerdaskan penonton, media sekelas TVOne hanya mengadu argumen yang sebetulnya tidak saling berkaitan dan bahkan tak jarang kontradiktif dan menyentuh sisi transendental. TVOne justru mengundang pegiat media sosial dan tokoh agama atau mereka yang memiliki fokus dalam kajian agama bahkan akhir-akhir ini mereka mengundang seorang pegiat yang katanya Pro-Israel. Durasi diskusi hanya diisi dengan perdebatan tentang apa yang diyakini dalam kitab suci masing-masing atau katakanlah narasi agama hingga pembahasan tidak lagi berfokus pada kepentingan urgensi perdamaian di Palestina tetapi memicu perdebatan yang sudah jauh dari konteks yakni Konflik baru Israel dan Iran.

Agama dijadikan sebagai titik tolak dalam memahami tragedi kemanusiaan tetapi mereka lupa bahwa agama adalah suatu suatu sistem struktural yang hanya mengikat suatu kelompok dan tidak mengikat keinginan (keserakahan) pribadi secara mutlak. Akan menjadi berbeda jika mereka membahasnya dengan mendasarkan pada kajian politik dan keamanan atau apapun yang bersifat materialistik. Berbicara tentang materialistik, saya mengingat suatu kritikan keras dari Karl Marx terhadap fenomena yang terjadi dalam masyarakat ketika agama dijadikan sebagai titik tumpu utama dalam menjawab semua persoalan manusia. Kritik itu berbunyi seperti ini :

"Die Religion ist das Opium des Volkes." (Agama adalah candu rakyat)

Ungkapan tersebut telah menjadi frasa ikonik yang kerap disalahpahami sebagai bentuk penolakan total terhadap agama. Akan tetapi, dalam konteks filsafat kritis, pernyataan Marx bukanlah serangan terhadap iman (der Glaube), melainkan kritik terhadap fungsi sosial agama dalam masyarakat. Pernyataan ini menjadi pintu masuk untuk melihat bagaimana agama, dalam konteks konflik Israel-Palestina, digunakan sebagai instrumen penenang sekaligus pembakar semangat. 

Ketika konflik berlangsung selama lebih dari 75 tahun, narasi agama kerap muncul di permukaan, tetapi aktor utama dan kepentingan sejati sering tersembunyi di balik layar ideologi dan struktur kekuasaan global. Melalui pendekatan Marxis, kita tidak hanya bertanya "apa yang mereka percayai?", tetapi "siapa yang diuntungkan oleh kepercayaan itu?", "apa yang disembunyikan dari kesadaran rakyat?", dan "apa struktur ekonomi-politik yang menopang konflik ini?"

Jika kita mengikuti kerangka Marx, agama dalam konflik Israel-Palestina berperan sebagai opium des volkes yang merujuk pada penenang kesadaran kolektif yang menderita, sekaligus pembenaran moral atas tindakan kekerasan. Bagi Israel, Zionisme religius menggunakan narasi "tanah yang dijanjikan" sebagai mandat ilahi atas wilayah Palestina. Sementara itu, bagi kelompok Palestina tertentu (terutama Hamas), jihad dilambangkan sebagai pembebasan religius dari penindasan. Akan tetapi, seperti yang ditegaskan Marx dan diperdalam oleh Feuerbach, agama di sini bukan penyebab langsung konflik, melainkan citra terproyeksi dari kondisi ketertindasan dan kolonialisme.

Membahas konflik ini tentu tidak bisa dilepaskan dari realitas kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme global. Pembentukan negara Israel tahun 1948 merupakan bagian dari konstelasi kolonial Eropa pasca-Perang Dunia II, yang didukung oleh kekuatan Barat, terutama Inggris dan kemudian Amerika Serikat. Dalam kerangka Marx, negara-bangsa Israel dibentuk sebagai entitas kolonial kapitalistik, dengan dukungan sistem militer-industrial Barat. Palestina, yang direbut tanah dan haknya, menjadi populasi tanpa negara, tanpa alat produksi, dan teralienasi dari tanah serta hak sipilnya.

Marx menyebut agama sebagai "jiwa dari kondisi yang tak berjiwa". Narasi agama menutupi fakta tentang perampasan tanah, diskriminasi struktural, serta apartheid modern yang dialami warga Palestina. Di sisi lain, Amerika Serikat mendukung Israel bukan karena alasan keagamaan, tetapi karena kepentingan strategis di Timur Tengah seperti kontrol minyak, akses militer, serta menjaga hegemoni politik melawan kekuatan seperti Iran, Rusia, dan Cina. Sementara itu, Iran menggunakan isu Palestina sebagai alat politik untuk membangun solidaritas dunia Islam, sekaligus sebagai sarana memperluas pengaruh geopolitiknya melalui kelompok proksinya seperti Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, dan milisi di Irak dan Suriah. 

Agama dalam konflik ini bernilai kontradiktif yang mana Ia memberi penghiburan dan motivasi perjuangan bagi rakyat yang tertindas, sebagaimana disebut Marx. Dalam skala global, ia digunakan sebagai alat mobilisasi politik oleh negara-negara besar untuk melanggengkan konflik dan kepentingan strategis mereka. Konflik Israel-Palestina hari ini telah berubah menjadi arena perang proksi antara Amerika Serikat dan Iran, di mana Israel bertindak sebagai perpanjangan kekuatan AS di Timur Tengah, sedangkan Iran memperkuat pengaruhnya lewat kelompok Islam bersenjata. Agama menjadi pembungkus moral bagi konflik yang sebenarnya digerakkan oleh ekonomi senjata, keamanan nasional, dan dominasi regional.

Konflik ini juga dapat dibaca sebagai bagian dari logika kapitalisme global seperti Industri militer dan teknologi pengawasan Israel telah menjadi komoditas ekspor yang menguntungkan (misalnya sistem Iron Dome). Kemudian, Palestina menjadi "laboratorium hidup" untuk uji coba teknologi keamanan dan represif yang dijual ke negara-negara otoriter di dunia. Marx menyebut bahwa dalam kapitalisme, perang bukanlah anomali, tetapi bagian dari logika ekspansi pasar dan kontrol sumber daya. Maka, perang Israel-Palestina bukan hanya konflik identitas, tetapi mesin ekonomi perang dan agama menjadi opium yang menutupi realitas itu dari pandangan masyarakat global. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun