Opini oleh: Defita Anastasya Sen
Kebaya, bagi sebagian orang mungkin hanya sebatas busana tradisional. Namun bagi saya---dan banyak orang lain yang memahami warisan budaya---kebaya lebih dari sekadar pakaian. Ia adalah simbol. Ia adalah identitas. Ia adalah narasi panjang tentang perempuan Indonesia: anggun, kuat, dan penuh kehormatan. Namun akhir-akhir ini, perubahan yang terjadi pada kebaya seakan menarik kita pada satu pertanyaan reflektif: apakah modernisasi kebaya membawa kita menuju kemajuan, atau justru kemunduran budaya?
Kebaya dan Pergeseran Nilai
Tidak bisa dipungkiri, zaman terus berubah. Dunia mode semakin cepat bergerak, dan kebaya sebagai busana tradisional pun ikut terbawa arus. Desain kebaya kini dimodifikasi menjadi lebih modern: lengan yang dipendekkan, dada terbuka, bahan tipis transparan, potongan ketat yang menonjolkan lekuk tubuh. Perubahan ini banyak ditemukan dalam ajang fashion show, pemotretan selebritas, hingga pernikahan mewah. Kebaya tidak lagi sekadar simbol kesopanan, melainkan
telah berubah menjadi alat ekspresi gaya yang kadang kala terlalu berani.
Pertanyaannya: apakah ini bentuk kreatifitas atau justru bentuk pengikisan nilai?
Modernisasi kebaya bukan hal yang harus ditolak. Kreativitas desainer muda patut diapresiasi. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika modifikasi itu justru mengaburkan bahkan menghilangkan nilai-nilai filosofis dan kultural yang melekat pada kebaya. Kita tidak sedang membahas estetika semata, tapi tentang ruh budaya yang terancam.
Data dan Fakta di Lapangan
Perubahan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Berdasarkan pengamatan beberapa komunitas pelestari budaya, sekitar 60% perajin kebaya tradisional di Jawa Tengah dan Bali mengaku khawatir bahwa kebaya makin kehilangan nilai spiritual dan kesopanan. Bahkan, survei di salah satu komunitas budaya menunjukkan bahwa lebih dari 50% generasi muda menganggap kebaya tradisional terlalu "kolot" dan tidak cocok dipakai di acara modern.
1. Data tak pernah bohong, kegelisahan memang nyata
Penjualan "kebaya fusion" naik 15 % dalam dua tahun, tetapi 60 % perajin kebaya tradisional khawatir maknanya tergerus; 62 % masyarakat juga takut kehilangan identitas budaya karena desain kian terbuka
retizen.republika.co.id.
Angka-angka ini menegaskan bahwa polemik bukan sekadar nostalgia orang tua, melainkan kegelisahan kolektif tentang arah kebudayaan.
2. Kebaya itu narasi, bukan kostum kosong
Historisnya, kebaya tumbuh sebagai busana yang membungkus makna: kehalusan budi, kesabaran, bahkan diplomasi perempuan Nusantara. Memendekkan lengan atau mengganti bahan mungkin sah-sah saja; tetapi mereduksi kebaya menjadi "busana pesta transparan" ibarat mencabut bab terakhir dari novel klasik lalu mengklaim tetap setia pada ceritanya. Aktivis kebaya Miranti Serad mengingatkan, pengakuan orang luar justru lahir ketika kita kukuh pada akar sendiri, bukan saat kita meniru tren global
antaranews.com.
Kebaya Bukan Sekadar Busana
Bagi saya pribadi, kebaya adalah bagian dari kenangan dan jati diri. Saya masih ingat ketika nenek saya mengenakan kebaya lurik dengan selendang kecil dan kain batik saat ke acara keluarga. Beliau berjalan dengan tenang dan penuh wibawa. Tidak ada kesan mencolok, tapi justru itulah daya tariknya: keanggunan yang sederhana. Kebaya tradisional mengajarkan kita bahwa pesona tidak selalu harus terekspos, bahwa kehormatan tidak harus ditampilkan secara terbuka.
Sekarang, ketika saya melihat desain kebaya yang super ketat, transparan, dan terlalu terbuka, saya mulai bertanya-tanya: "Masihkah ini disebut kebaya? Atau hanya nama yang dipertahankan tapi makna ditanggalkan?"
Antara Ekspresi Diri dan Penghormatan Tradisi
Tentu saja, semua orang berhak mengekspresikan dirinya melalui fashion. Tidak ada yang salah dengan kebebasan berekspresi. Tapi pertanyaannya: apakah ekspresi diri itu perlu dilakukan dengan cara menanggalkan identitas budaya?