Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan Tidak Akan Pernah Mati

9 November 2014   15:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:15 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Tuhan telah mati” atau “Gott ist tot” dalam bahasa Jerman adalah pernyataan yang terkenal dari Nietzsche, seorang filsuf asal Jerman. Nietzsche berulangkali menyampaikan pernyataan ini dalam beberapa karya tulisannya. Tetapi pertama kali pernyataan ini muncul dalam The Gay Science(Die fröhliche Wissenschaft).

God is dead. God remains dead. And we have killed him. How shall we comfort ourselves, the murderers of all murderers? What was holiest and mightiest of all that the world has yet owned has bled to death under our knives: who will wipe this blood off us? What water is there for us to clean ourselves? What festivals of atonement, what sacred games shall we have to invent? Is not the greatness of this deed too great for us? Must we ourselves not become gods simply to appear worthy of it?

— Nietzsche, The Gay Science, Section 125.

Seringkali pernyataan ini dipahami secara literal. Tetapi seperti bisa ditangkap dari kutipan di atas, yang dimaksudkan dengan kematian Tuhan adalah lebih pada tindakan “meninggalkan” Tuhan sebagai sumber moral absolut yang tercermin dari agama karena pengaruh kemajuan teknologi dan industrialisasi bukan saja terhadap kepercayaan supranatural tetapi juga nilai-nilai moral absolut yang melekat padanya. Tuhan telah mati lebih menekankan kritik pada kondisi beragama pada jaman itu dimana tindakan dan sikap kaum agama sudah jauh meninggalkanajaran agama sebagai prinsip moral absolut. Sebuah kondisi yang dikhawatirkan oleh Nietzsche akan mengarah ke nihilisme atau kondisi dimana kehidupan tidak memiliki nilai atau arti penting secara instrinsik.

Contoh kongkritnya adalah ketika seseorang melakukan tindakan korup dengan berdalih untuk kepentingan keluarga atau ketika seseorang yang disematkan padanya simbol-simbol agama karena kepintarannya dalam bidang agama melakukan tindakan kejahatan yang “menjijikan” secara tidak sadar orang-orang ini sudah menikamkan pisau pada Tuhan yang ada dalam pikirannya dan mulai membunuh Tuhan lamanya dan menciptakan Tuhan baru yang tidak memiliki sumber dan landasan moral obyektif sehingga tidak bisa memberikan arti penting dalam hidup atau kosong. Tuhan baru inilah yang tidak bisa disebut dengan Tuhan karena tidak menawarkan landasan moral.

Kita tinggalkan sejenak Nietzsche dengan “Tuhan telah mati”-nya. Di suatu saat, penulis pertama kali mendengar lagu berjudul “Little Fighter”. Lagu yang dimainkan oleh Whitelion ini diaransemen dengan begitu apik dan menampilkan permainan gitar Vitto Brata, sang gitaris, yang “wah”, selain vokal melengking Mike Tramp yang juga mengesankan. Lalu apa hubungannya dengan pembahasan diatas.

Little Fighter bercerita tentang Rainbow Warrior atau Rainbow Warrior I, sebuah kapal penangkap ikan yang dibeli oleh organisasi Greenpeace dan selama akhir tahun 70an dan awal 80an digunakan untuk mendukung kegiatan protes mereka menentang perburuan anjing laut, perburuan paus dan uji coba nuklir yang merusak habitat laut dan karang. Ketika melakukan protes uji coba nuklir, kapal ini tenggelam karena sabotase bom oleh pihak yang menentang mereka. Kejadian ini menewaskan seorang fotografer yang nekat kembali ke kapal setelah bom pertama meledak untuk mengambil peralatannya dan fotografer ini tewas oleh ledakan kedua. Kasus ini telah diselesaikan melalui pengadilan dan Greenpeace telah mendapatkan kompensasinya.

Kembali lagi ke pembahasan di awal. Manusia terlalu rumit untuk didefinisikan dalam sebuah teori spekulatif seperti yang dilakukan oleh Nietzsche meskipun upayanya yang “brilian” patut mendapatkan apresiasi. Ketika Tuhan mulai ditikam oleh manusia atau setidaknya mulai diikat dan dibungkam beramai-ramai, selalu ada orang atau kelompok orang yang menyelamatkan Tuhan salah satunya seperti orang-orang yang berada di kapal Rainbow Warrior yang masih berjuang keras menyelamatkan Tuhan sampai saat ini. Selalu saja ada orang-orang yang cukup gila untuk masuk hutan dan tinggal selama berbulan-bulan di hutan untuk menyelamatkan Tuhan yang bersemayam dalam ekosistem serta hewan-hewan langka yang ada di dalamnya. Selalu saja ada orang-orang yang didefinisikan “tidak waras” oleh sistem kewarasan publik untuk tetap melakukan apa yang mereka yakini Tuhan dalam benak mereka perintahkan, seperti tetap mengajar siswa-siswa di daerah pedalaman dengan gaji yang minim atau sama sekali tanpa dibayar. Dan selalu saja ada orang-orang yang menyelamatkan Tuhan, orang-orang yang tidak rela Tuhan mereka dibunuh oleh apa yang disebut dengan kemajuan jaman.

Sebagai penutup, ada sedikit pertanyaan yang menggelisahkan. Apakah Nietzsche tetap berpendapat Tuhan memang benar-benar mati ketika melihat kemunculan kelompok-kelompok orang yang tidak rela Tuhan mereka dibunuh? Apakah Tuhan yang melekat pada akal manusia yang kemudian membangun rumah yang disebut kemanusiaan ini bisa mati? Atau Tuhan yang mati itu adalah Tuhan lama yang penuh persoalan dan akan muncul Tuhan baru yang benar-benar Tuhan? Sedikit penulis cuplikan lirik dari lagu Little Fighter:

Without a weapon in your hand
You came to fight a war
They took your life but didn't know
That you will never die

Seperti semangat Rainbow Warrior yang tidak akan pernah mati, begitu lah Tuhan, tidak akan pernah mati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun