Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Direnggut (Paksa) Oleh Ujian Nasional

30 April 2014   03:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:02 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jalan di depan sekolah tampak mulai lengang. Tapi kadang beberapa orang masih lewat diselingi beberapa kendaraan. Hari mulai beranjak sore. Sinar matahari yang berhasil menerobos celah-celah dedaunan hangat membelai kulitku, membentuk lingkaran-lingkaran terang yang berserakan di sekelilingku dengan latar belakang keteduhan bayang dedaunan. Sejenak suasana begitu senyap. Kupejamkan mataku dan menikmati keheningan ini. Merasakan spirit yang menyatu dengan alam. Perlahan mencoba menyentuh spirit alami yang mutlak, tanpa kebohongan dan motif. Mencoba menyatu. ……Tulus.

Tiba-tiba “kenikmatan puncak” itu terusik ketika terdengar suara tertawa lirih. Kubuka mataku tampak tiga gadis berseragam SMA sedang asyik membicarakan sesuatu. Dari senyum di wajah mereka, pasti mereka bukan berada di tingkat terakhir karena jika memang iya mereka tidak akan bisa menikmati masa muda mereka dengan kegembiraan, keceriaan atau keriangan seperti itu sebagai bentuk keaslian dari masa muda yang seharusnya termanifestasi dalam kegairahan, kebebasan dan kreatifitas. Wajah mereka akan berubah murung. Pokok pembahasan akan berubah total. Mereka akan semakin sering berpikir, tetapi berpikir berubah menjadi sesuatu yang tidak alami, tetapi terdefinisi. Ketika berjalan langkah mereka akan menjadi semakin cepat, tergesa-gesa pulang untuk melakukan ritual tradisional yang ironisnya masih sering dijumpai di lembaga-lembaga pendidikan. Ritual yang dikenal dengan nama penghafalan. Sayang, energi menakjubkan masa muda mereka tercurahkan ke praktek-praktek penghafalan. Membayangkan terobosan apa yang bisa muncul jika penghafalan itu mulai dirubah dengan olah akal. Hal yang menakjubkan pasti akan muncul jika saja keaslian energi menggelora itu disinergikan dengan metode analisa progresif induktif. Tapi keaslian itu tercengkeram oleh sistem yang salah satu wajahnya terwakili oleh sesuatu yang menjadi perbincangan hangat dimana-mana, mulai dari media surat kabar, TV sampai situs2 jagat maya. Perbincangan yang seringkali berubah menjadi perdebatan karena sifat inherent-nya yang kontroversial. Ya benar sesuatu itu bernama Ujian Nasional. ……Terenggut.

Kutatap langit di atas. Biru membentang luas, tidak berbatas. Perlahan aku berdesis. Cantik. Yang menarik dari langit cerah adalah sesering apa pun aku menatapnya, aku merasa takjub. Keindahan alam ini begitu sempurna. Begitu sempurna. Tidak terhitung seniman mencoba menuangkan keindahan itu dalam karya-karya mereka. Dengan menggunakan gaya berbeda-beda mereka mencoba mengkomunikasikan apa yang mereka pahami tentang alam, apa yang berada dibalik keindahan itu. Dan seperti langit biru yang indah itu manusia diberi anugerah oleh Tuhan sesuatu yang tidak kalah cantik. Akal. Jika saja peserta didik diberi kesempatan mengintip keindahan anugerah Tuhan ini.……Sempurna.

Entah siapa yang “mengajariku” menikmati karya-karya seni, mulai menelusuri gagasan-gagasan yang tertuang pada kanvas, menghayati setiap goresan bentuk dan penggabungan warna untuk menampilkan ide sampai meniti jalan pencarian kebenaran. Sekolah? Dan aku semakin antusias ketika berbicara tentang seni, ide dan cara penyampaiannya.Suatu saat di dapur, aku sangat bersemangat melakukan “presentasi” di depan kedua orang tuaku. Sambil kupegang lukisanku, aku bercerita panjang lebar tentang gagasan-gagasan yang aku coba tuangkan dalam lukisanku. Membelakangiku, sambil mengangguk-angguk ibuku mendengarkan presentasiku sedangkan ayah mendengarkan sambil membaca koran, sekali-kali menengok ke arahku. Setelah selesai aku tersenyum dan menunggu komentar keduanya. Kuhela nafas panjang. Sambil mengumpulkan semua ilmuku, bersiap menjawab pertanyaan. “Bagaimana nilai ulangan Matematikamu, Hen?” tanya ibu. Aku terperanjat. Lho kok Matematika? “Baik Bu delapan” jawabku sedikit tergagap. “Kursus bahasa Inggrismu baik-baik saja kan?” tanya ayah. “Iya Yah. Sembilan. Ehmmm maksudku nilai ulangan bahasa Inggris di sekolah Yah.” jawabku seakan sudah tahu kemana pertanyaan sebelumnya mengarah. ……Kecewa.

Aku tersenyum. Aku tidak menyalahkan mereka. Maksudku kedua orang tuaku. Ya akulah yang salah. Berharap terlalu besar untuk mendengarkan komentar konstruktif setelah panjang lebar menjelaskan Rembrandt, van Gogh atau Picasso adalah sebuah kesalahan. Jika mencoba nama-nama lain seperti Plato, Ibnu Sina, Kiekergaard, Heidegger, Derrida, Moh. Hatta, KH Agus Salim dijamin kesalahan besar. Tidak peduli sebaik apa penjelasanmu mengenai estetika, filsafat, dinamika sosial, sejarah, mereka akan menganggapmu pintar jika nilai matematikamu 8. Jika 10, kau termasuk salah satu diantara pahlawan-pahlawan yang akan disanjung-sanjung. Podium akan disediakan untukmu. Kau punya kesempatan untuk berpidato, berterima kasih kepada kedua orang tuamu, guru-gurumu, atau jika sempat teman-temanmu. Bagaimana jika kau gemar menelusuri jalan-jalan terjal berliku yang ilustrasinya bisa ditemukan di pemikiran-pemikiran hebat mulai periode helenistik, jaman kuno akhir era Islam, pencerahan di Eropa, sampai ke gerakan postmodernisme atau katakanlah bergulat dengan nada-nada musikal untuk menciptakan sebuah harmonisasi yang keindahannya semakin mekar ketika disandingkan dengan lirik yang dalam? Sejauh tidak ada penilaian definitif melalui angka, yang jelas tidak ada podium untukmu. ……Terasingkan.

Kuhela nafas dalam-dalam. Matahari yang semakin condong ke arah barat membuat bayanganku dan obyek-obyek disekitarku menjadi semakin panjang. Serombongan burung terbang melintas di angkasa. Bebas. Tiba-tiba aku teringat desas-desus itu. Kabar bahwa ada seseorang yang menyediakan kunci jawaban. Kunci jawabannya asli! Jadi jika banyak siswa yang “bermain”, maka banyak siswa yang nilainya menjadi bagus. Aku mencoba menelanjangi diriku untuk berpikir jujur apakah gelisah ini muncul karena dalam situasi itu aku sebagai siswa yang nilainya “bagus” akan tersaingi. Tidak. Tentu saja bukan itu. …..Persetan dengan persaingan!

Yang menggangguku adalah aku mulai melihat perubahan di wajah-wajah temanku. Prihatin melihat beberapa teman baikku ternyata memilih jalan yang “berbeda” denganku. Ketika intensitas frekuensi desas-desus seperti itu rendah, aku merasa tidak terusik. Tetapi ketika intensitasnya mulai meninggi, sekeras apa pun aku mencoba mengingkarinya, aku tidak bisa. Mungkin beberapa orang tidak merasa terganggu dengan ucapan “Hari gini ngomong kejujuran?” Tapi Sial! Aku ini manusia. Apa yang seharusnya manusia pikirkan jika seorang sahabatnya bertanya kepada dia, “Kau tidak tertarik membelinya Hen?” Apa? Apakah aku harus mengingkari kemanusiaanku?.......Tercerabut!

Matahari sudah menyentuh punggung pegunungan yang mengitari kota ini. Sebentar lagi sang surya akan memamerkan permainan cahaya yang spektakuler. Cahaya merah, jingga, kekuningan akan tersemburat dari satu titik menerobos langit biru yang mulai memudar, berbaur dengan putihnya awan. Dan setiap saat memandang dengan terpesona pameran kebesaranNya dengan lirih aku berbisik…..Tuhan, aku milikMu.

April 2014

Heidegger, seorang filsuf Jerman, mengemukakan konsep “enframing” atau “Gettel” dalam bahasa Jermannya. Enframing adalah konsep yang muncul dari penjelasan Heidegger mengenai esensi teknologi dalam masyarakat modern. “Enframing” akan mereduksi entitas-entitas kedalam tatanan kalkulatif. Contohnya dalam masyarakat modern, gunung bukan gunung sebenarnya, tetapi tumpukan menjulang sumber batu bara. Sungai bukan sungai sebenarnya tetapi sumber untuk pembangkit tenaga listrik Dan manusia bukan manusia sebenarnya tetapi sumber daya (standing reserve). Dan jika wilayahnya dikembangkan ke dunia pendidikan, maka peserta didik dipandang sebagai potensi sumber daya dan pendidikan dipahami sebagai upaya aktif dan sadar untuk mempersiapkan sumber daya ini. Kehilangan being atau jati diri menjadi konsekuensinya. Meskipun Heidegger tidak dianggap menentang teknologi dan industrialisasi yang menyertainya, tetapi banyak kalangan menganggap pandangannya, terutama konsep gettel, sebagai kritik terhadap perkembangan masyarakat kontemporer yang tersandera oleh teknologi. Mungkin pembaca yang budiman sering mendengar alasan-alasan penyelenggaraan Ujian Nasional yang salah satunya untuk mempersiapkan dan meningkatkan kualitas “sumber daya” manusia. Setelah membaca uraian singkat diatas mungkin pembaca akan melakukan konstruksi kognitif ulang mengenai pendidikan dan sumber daya manusia dan kampanye kebijakan yang menyertainya. Tulisan ini tidak akan menuju ke arah sana karena membahas Heidegger dan pemikirannya secara panjang lebar dan menghubungkannya dengan pendidikan membutuhkan ruang dan kesempatan tersendiri.

Kisah diatas fiktif belaka, berangkat dari kegelisahan penulis sebagai anak bangsa yang melihat perkembangan pendidikan Indonesia, terutama Ujian Nasional. Kegelisahan yang semakin kuat menyesakkan dada ketika membaca berita di surat kabar akhir-akhir ini yang memasang kasus-kasus kebocoran soal atau kunci jawaban Ujian Nasional di halaman pertama, kasus yang diduga memiliki dampak masif terhadap validitas hasil ujian itu sendiri. Semoga detrimental effect-nya tidak sebesar dan sesistematis yang diduga. Semoga. Kasus-kasus ini masih dalam pengusutan penegak hukum.

Kisah diatas hanyalah refleksi Ujian Nasional sebagai salah satu wujud implementasi sistem pendidikan nasional dan refleksi yang disampaikan lebih banyak menekankan sisi filsafat dan psikologi sosial, bukan sistemnya secara teknis. Sebenarnya ada ruang lain yang cukup menarik untuk dibahas. Pemerintah sebenarnya sudah memodifikasi porsi hasil ujian nasional terhadap kelulusan dan langkah ini harus diberi apresiasi. Tetapi yang mengherankan ketika sistemnya dibuat longgar dan lebih “manusiawi”, praktek kotor tetap saja ditemui dan skalanya tidak bisa disepelekan. Keterhubungan antara sistem sebagai kebijakan dengan kultur sosial inilah yang menarik. Bisa diambil kesimpulan awal bahwa perubahan kebijakan untuk memperbaiki sistem ternyata tidak diiringi oleh perubahan struktur persepsi sosial terhadap kebijakan tersebut. Penulis tidak memungkiri tulisan diatas memiliki keterbatasan oleh sebab itu saran konstruktif mendapatkan apresiasi.

Sebagai penutup, semoga pendidikan Indonesia bergerak ke arah yang lebih baik melalui pembelajaran-pembelajaran historis dinamis seperti yang dilalui oleh bangsa ini.

Semoga bermanfaat. Salam hormat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun