Saya tumbuh besar di kawasan Ampel Surabaya. Kawasan Ampel yang dikenal multietnis ini membuat tradisi yang berkembang menjadi beragam.
Rasa rindu pada Ampel tak sebatas pada kelezatan aneka kulinernya saja, tapi juga tradisi yang ada disana. Salah satunya adalah tradisi lek-lekan.
Sebenarnya tradisi ini hampir sama dengan tradisi patrol. Para pemuda berkeliling kampung untuk membangunkan orang sahur. Namun musik yang dimainkannya berbeda.
Lek-Lekan atau yang artinya melekan dalam bahasa Jawa, merupakan serangkain kegiatan untuk meramaikan Ramadan.
Lek-lekan ini dilakukan ditengah malam, mulai pukul 12.00 WIB, dengan keliling ke setiap gang. Biasanya kegiatan ini diikuti oleh anak-anak muda maupun bapak-bapak.
Dahulu, banyak alat musik yang dibawa. Alat-alat tersebut meliputi kendang, seruling, gitar, bedug dan masih banyak lagi.
Namun yang membedakan, warga Ampel tidak menggunakan kentongan seperti di daerah lain.
Saat berkeliling yang dinyanyikan bukanlah selawat atau nyanyian khas. Rombongan lek-lekan menyanyikan lagu-lagu yang sedang terkenal pada masanya.
Saya masih ingat, dulu saat saya masih kecil, para pemuda di kampung saya menyanyikan lagu-lagu dari Dewa 19 saat lek-lekan.
Anak-anak muda yang melakukan lek-lekan ini tergabung dalam Karangtaruna atau organisasi masyarakat. Kakak sepupu saya selalu ikut jika ada lek-lekan di kampung kami.
Tradisi lek-lekan dimulai di kawasan Ampel Menara Surabaya, rombongan kemudian berlanjut berkeliling kawasan Ampel lainnya, seperti Ampel Gubah, Ampel Kembang, Ampel Kejeron hingga Ampel Rahmat.