Mohon tunggu...
Dedy Eka Priyanto Ph.D
Dedy Eka Priyanto Ph.D Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan

Bekerja sebagai konsultan di salah satu big 4 accounting firm dan saat ini tinggal di Tokyo. Senang berbagi pengalaman lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Swasembada Pangan, Impian dan Realitas

23 Januari 2019   08:00 Diperbarui: 23 Januari 2019   18:56 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Data impor pangan tahun 2013 - 2018 (BPS)

Indonesia dianggap sebagai negara agraris oleh dunia. Negara yang terkenal subur dan terletak di garis khatulistiwa, sudah sewajarnya bila Indonesia mampu  memenuhi kebutuhan pangan sendiri, atau dikenal dengan istilah swasembada pangan.

Swasembada pangan selalu menjadi topik yang hot bagi para capres ketika pemilu. Ketika pemilu 2014 yang lalu, baik pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta berjanji menjadikan Indonesia sebagai Negeri swasembada pangan sebagai visi-misinya. Dan ketika Pak Jokowi yang terpilih sebagai presiden, kupingnya pun merasa panas ketika sempat ditanyai oleh Presiden Vietnam "Indonesia, kapan mau beli beras lagi dari Vietnam?" .

Pemerintahan Jokowi kemudian menargetkan swasembada pangan terjadi dalam 4-5 tahun kedepan (2018-2019) dan bila tidak tercapai berjanji tidak akan segan-segan memecat Menteri Pertanian Arman Sulaiman.

Peningkatan Impor Pangan

Setelah 4 tahun pemerintahan Jokowi berjalan, impian menjadi negara berswasembada pangan masih jauh dari harapan.

Berdasarkan data BPS (lihat gambar 1), volume impor di tahun 2018 seperti beras, gula dan kedelai semakin meningkat dibanding tahun sebelum Pak Jokowi menjabat.

Komoditas beras sempat mengalami penurunan volume import di tahun 2017, namun kembali naik sangat tajam di tahun 2018 yang mencapai level lebih dari 2 juta ton. Pemerintah beralasan untuk menjaga kestabilan harga beras yang semakin tinggi.

Komoditas gula juga mengalami kenaikan signifikan sejak tahun 2016 yang mencapai lebih dari 4 juta ton/tahun. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita beralasan karena selain jumlah produksi gula nasional yang kurang, kualitas gula nasional belum bisa memenuhi kebutuhan gula industri, seperti dodol menjadi mudah bulukan kalau pakai gula lokal. Saat ini Indonesia menjadi negera pengimpor terbesar gula di dunia mengalahkan Cina.

Kedelai yang sebagian besar dipakai sebagai bahan baku tempe,  juga tidak menunjukkan trend penurunan dalam volume impor, malah semakin meninggi tiap tahunnya.  Padahal pemerintah berambisi untuk swasembada kedelai pada tahun 2020.

Tidak semua komoditas pangan mengalami kenaikan volume impor. Impor jagung berhasil mengalami penurunan cukup tajam sejak tahun 2016 akibat produksi jagung nasional yang meningkat.

Namun di saat pemerintah mengklaim pasokan jagung cukup untuk pakan ternak , kekurangan pasokan di lapangan sangat dirasakan oleh industri sehingga terjadi kenaikan harga jagung untuk pakan ternak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun