Mohon tunggu...
dedi s. asikin
dedi s. asikin Mohon Tunggu... Editor - hobi menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sejak usia muda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maaf, Ko Aseng Ga Boleh Beli Tanah di Yogya

16 November 2021   21:59 Diperbarui: 16 November 2021   22:03 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lain di Tasik Selatan serta daerah lain di wilayah republik ini,  lain lagi di Yogyakarta. Di wilayah lain itu warga keturunan, maaf saya tak berani menyebut non pribumi, takut kewalat Inpres 26 tahun 1998 apalagi dengan UU 40 tahun 2008.

UU itu menghapus semua bentuk diskriminasi, termasuk perlakuan kewarganegaraan dan hak azasi manusia. Dalam hal pemilikan lahan atau tanah semua orang diperbolehkan. Tidak boleh dihalang halangi. Tapi di Jogyakarta lain cerita.

Di wilayah Istimewa itu semua warga keturunan, wabil khusus keturunan Tionghoa, tidak boleh membeli dan atau memiliki sejengkal tanah pun. Kenapa gerangan ?

Di sana ada Instruksi Gubernur No.K.898/I/A/1975. Dalam instruksi yang ditandatangani wagub Sri Paku  Alam VIII tanggal 3 Maret 1975, warga nonpribumi tidak diperkenankan memiliki tanah di seluruh wilayah kesultanan Ngayogyakarta.

Inpres yang menggunakan istilah nonpri itu konon sebenarnya ditujukan kepada warga keturunan China alias Tionghoa alias pendatang dari daratan Tiongkok.

Menurut pakar sejarah UGM Prof. Dr. Suhartono sejatinya Inpres itu dilatari dendam kuktural kepada China. Kata dia, sejak zaman kolonial para pedagang China itu selalu mengekploitir warga setempat sehingga secara ekonomi rakyat Yogyakarta selalu tersisih.  Dan pemerintah kolonial Belanda selalu mendukung dan memberi hak istimewa kepada  mereka.

Yang kedua yang membuat "sendiko dalem" itu gusar, adalah para pedagang diam diam masuk ke desa desa "ngdol" (menjual) candu. Dan apa yang mereka lakukan itu tentu saja mengkhawatirkan keraton,  karena akan merusak mental dan moral rakyat.

Terhadap instruksi "raja" itu tentu saja bukan tanpa reaksi.  Setidaknya ada dua orang yang melakukan gugatan ke pengadilan. Tahun 2001, ada Budi Satriagraha. Lalu 2017 disusul Handoko. Kedua duanya ditolak.

Handoko yang pengacara dan kebetulan warga keturunan China menganggap instruksi itu melanggar Inpres 26 tahun 1998 yang melarang semua pejabat dari pusat sampai daerah menggunakan istilah pri dan nonpri pada setiap kebijakan resmi.

Yang kedua tentu saja melanggar UU 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi. Kalau mau,  pelarangan itu  jangan pakai substansi etnis. Lebih baik menggunakan batasan luas lahan saja. Itu akan lebih fair kata Handoko.

Sementara majlis hakim PN Yogyakarta yang dipimpin hakim ketua Cokro Hendro Mukti dalam amar putusan untuk gugatan Handoko tanggal 20 Maret 2028,  menyebut antara lain pengadilan tidak dapat mengadili perkara itu karena ingub itu hanya kebijakan bukan UU. Itu sesuai dengan UU 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun