Mohon tunggu...
dedi s. asikin
dedi s. asikin Mohon Tunggu... Editor - hobi menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sejak usia muda

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mungkinkah Singkong Berjaya Lagi di Tasela?

2 Mei 2021   21:28 Diperbarui: 2 Mei 2021   21:34 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Peran Tasikmalaya Selatan sebagai penghasil singkong terbesar sirna pada awal tahun 1960 an. Sekarang nyaris tak ada lagi tanaman bahan baku tapioka itu.

Apa yang terjadi  ? Konon mulai awal 1950 an, petani singkong Tasela  tergiur kabar yang datang dari Sulawesi Utara. Katanya petani di sana sukses panen cengkeh. Harganya melangit sampai Rp.300.000 per kg. Banyak petani mendadak kaya. Kabar itu menggoda hati para petani singkong  di tanah Jawa.  Termasuk petani "sampeu" di Tasela. Mereka rame-rame  tinggalkan tanaman singkong beralih "marelak" cengkeh.

Namun apa yang terjadi? Ketika panen, harganya, bukan turun lagi "ngajleng" ke bawah.  Bahkan nyaris tidak laku. Rugi dan kecewa melanda petani "sisi laut kidul" itu. Banyak yang karena marah ramai-ramai membakar  pohon  dan buah bahan baku rokok kretek itu.

Kondisi selanjutnya petani  Tasela, mungkin juga petani lain di Jawa Barat "maju kena mundur ngajeduk". Mau kembali nanam singkong, eh pabrik tapiokanya sudah pada tutup.

Mereka para petani Tasela,  sebenarnya  merupakan  korban. Korban  kelambanan pemerintah. Waktu itu belum ada Tata Ruang Wilayah Pertanian, baik nasional, provinsi atau kabupaten/kota yang mengatur di mana menanam apa.

Menggiurkanya menanam  cengkeh memang beralasan karena keekonomian bertani singkong jauh tidak memadai. Benevit cost ratio tanaman singkong itu rendah sekali. Nyaris tidak ada profitnya kata ketua Masyarakat Singkong Jawa Barat Sri Hartono.

Nasib petani Singkong, tanaman yang masuk nusantara awal abad ke 19, dibawa pemerintah kolonial Portugis itu, memang mengenaskan. Itu terasa sampai sekarang. Menurut Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, produktivitas tanaman ketela pohon itu rendah. Hanya sekitar 19 ton per hektar. Layaknya produksi itu mencapai 40 sampai 60 ton.

Sebenarnya pemerintah (kolonial) sudah menetapkan singkong  menjadi bahan pokok pangan ke 2 setelah padi. Itu terjadi ketika depresi ekonomi antara tahun 1914 sampai 1918.

Namun karena rasanya tidak begitu nyaman di perut, singkong  tidak begitu disukai. Jadilah nasi singkong itu identik dengan kemiskinan. Konsumsi kelas rendahan.

Tapi sekarang prospek pasar "maniot esculenta Crantz" itu mulai menggeliat.  Pertama telah ditemukan teknologi baru pengolahan singkong menjadi bahan makanan yang enak dikunyah dan ditelan perut. Singkong bisa dibuat Mocaf

 Jenis bahan makanan hasil modifikasi dari rasa singkong  asli menjadi tepung dengan  minus 70 % aroma  singkong. Mocaf (Modified Cassava Flour) memiliki rasa netral. Juga warna lebih putih dari hasil olahan singkong  alami. Mocaf merupakan hasil penelitian seorang guru besar Universitas Negeri Jember  bernama Dr. Ahmad Subagyo. Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian ditemukanlah jenis tepung Mocaf.

Mocaf sekarang digunakan sebagai bahan baku pembuatan segala jenis makanan. Segala jenis roti, brownis cookies, nastar dan mie instant. Jangan lupa bangsa kita ini pelahap mie instan no 2 berbesar di dunia setelah Cina.  Mocaf juga bisa dibuat beras.

Dirut Bulog Budi Waseso berniat akan mengolah Mocaf menjadi beras singkong. Daripada mengimpor beras padi, kata Buwas, lebih baik menggunakan beras singkong. Rasa dan aromanya hampir sama.

Sekarang ini sudah ada  beberapa industri pengolah Mocaf.  Ada di Lampung, Trenggalek Jawa Timur, Pati Jawa Tengah, juga di Ciamis Jawa Barat.

Memang masih ada keluhan dari Industri pengolahan Mocaf. Masalah harga.  Kata mereka harga  singkong petani harus ditata kembali.  Prinsipnya petani untung, industri juga punya profit.

Menurut Dirjen Tanaman Pangan Kementan, agar biaya produksi petani rendah, harus digunakan teknologi pertanian yang tepat guna. Gunakan bibit unggul dan pupuk yang baik. Sebenarnya sudah ada bibit unggul seperti varitas Darul Hidayah dari Lampung, Mukijat dari Malang atau hibrida dan beberapa varietas yang lain. Varietas unggul itu bisa menghasilkan 40 sampai 60 ton per hektar. Sekarang ini dengan bibit konservatif hanya menghasilkan 19 ton saja.

Jadi prospek market singkong lokal kita sekarang terbuka lebar. Apalagi kita sekarang masih import sekitar 400 sampai 500 ribu ton setiap tahun. Porsi import itu bisa diambil oleh petani singkong lokal.

Sekarang kalau saya ditanya mungkinkah kejayaan singkong di Tasik Selatan lahir kembali. Saya akan jawab insyaallah bisa. Syaratnya ada kemauan dan membuat minijmen yang baik.

Lahan tidur alias lahan "bengong" pasti masih banyak.  Dan itu atas instruksi pak Gubernur Jawa Barat akan segera diinventarisir. Itu disampaikan Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jawa Barat Jafar Ismail dalam pelantikan pengurus Masyarakat Singkong  Jawa Barat  belum lama ini.

Bangkitlah hai orang-orang Tasela. Bangunlah wahai "budah laut".- ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun