Nah era yang benar2 terasa demokrasi adalah era Reformasi.  Orde ini lahir melalui perjuangan reformasi dengan mengakhiri kekuasaan  orde baru. Presiden Suharto mundur setelah desakan yang tak tertahankan. Salah satu penyebabnya adalah resesi ekonomi yang tak mampu diselamatkan.
21 Mei 1998 adalah tonggak, tiang pancang kemurnian demokrasiÂ
Presiden Habibi yang mengambil alih jabatan Suharto meletakan dasar dasar demokrasi itu. Salah satu UU yang dibuatnya adalah UU 40 tahun 1999 yang memberi kebebasan kepada Pers. Sejumlah tahanan politik orde baru dibebaskan dari tahanan. Partai politik dibebaskan. Maka bermunculan parpol parpol baru. Pada pemilu 1999 ada 52 parpol yang ikut Pemilu .
Sisi lain dari kondisi demokrasi yang justru dinilai kebablasan itulah yang membangkitkan kembali kegaduhan itu. Kebebasan berekspresi, keleluasaan berkata mengeluarkan pendapat  kadang  diluar azas kearifan. Etika pun kadang terasa lenyap. Orang bisa seenaknya saling tuding, berebut benar. Hal itu terutama terjadi diantara elit politik, para pakar bahkan para  akademisi.
Kondisi demokrasi pasca reformasi ini terasa makin gaduh dan gonjang ganjing melebihi apa yang terjadi pada jaman demokrasi liberal. Jaman liberal itu orang berdebat di ruang sidang parlemen atau di forum debat Dewan Konstituante. Â
Sedang sekarang "perang " sering terjadi di lapangan, di jalan jalan.  Unjuk rasa atau bahkan tawuran. Keadaan sekarang ini  diperburuk lagi oleh kehadiran teknologi informasi. Orang semakin seru bertengkar melaui media online ini. Para nitezen para instagramer,twitter ramai ramai bersahut sahutan, saling cerca dan saling bully. Maka jagat nusantara ini semakin riuh rendah. Semakin gaduh dan gonjang ganjing.
Jangan dilupakan aksi radikalisme dan terorisme juga berkait dengan buruknya tatanan demokrasi kita. Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Adriana Elizabeth para radikalis  itu sangat tidak menyenangi elit politik yang bertengkar tanpa ujung pangkal. Berantem tak habis-habisnya.
Masih menurut Adriana memang ada hal lain yang melahirkan radikalisme dan kemudian terorisme. Mereka itu orang frustasi karena ekonomi mereka buruk. Dalam kondisi itu masuk gerakan yang membawa dua pesan.
Pertama mereka diiming imingi perbaikan ekonomi, jaminan penghasilan. Bersama itu masuk pula paham agama tentang kesejahteraan  yang lebih kekal di surga sana. Adriana menggambarkan itulah yang setidak tidaknya dilakukan gerakan radikal ISIS. Ribuan meryasakat kita yang sudah terbuai dan sekarang malah menderita di sana.Â
Pemerintah Indonesia tegas menolak mereka kembali ke pangkuan pertiwi. ISIS ternyata ingkar janji. Dalam keadaan putus asa, karena mereka yang  masih ada di negeri ini tetap tidak mendapatkan kesempatan memperbaiki kehidupan dan ekonomi yang masih berada di sini,  malah meneruskan petualangannya mengembangkan radikalisme dan terorisme.Â
Di samping Adriana ada juga pendapat Jendral Fachru Razi. Ketika masih menjabat Menteri Agama Fachru menambahkan bahwa pendidikan yang rendah juga menyebabkan pertimbangan dan akal sehat mereka menjadi rapuh dan rentan dimasuki pengaruh buruk.Â