Dede Leman
(Pemerhati Budaya dan Teknologi)
"Menjadi viral" kini terdengar lebih sakral ketimbang menjadi cendekia. Popularitas, yang dulu diukur lewat jam terbang, karya, atau sumbangsih nyata, kini bisa dipanen dari satu video singkat, satu twit sinis, atau bahkan dari sensasi sesaat yang membius banyak mata. Kita hidup di zaman ketika menjadi terkenal bukan lagi akibat dari prestasi, melainkan justru menjadi tujuan akhir. Inilah zaman ketika famous mengalahkan impactful.
Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia bertunas dan tumbuh subur di tanah yang disirami budaya instan, diperkuat sistem sosial yang makin haus validasi, diperjualbelikan dalam arena kekuasaan, dibingkai dalam bahasa keagamaan, dan diperbesar oleh lensa teknologi yang serba memperbesar dan mempercepat.
Secara sosial, popularitas telah menjelma jadi ukuran baru atas nilai diri seseorang. Semakin banyak pengikut, semakin tinggi derajatnya. Tidak penting seberapa dalam pemikirannya, asal suaranya nyaring. Tidak penting seberapa sahih informasinya, asal bisa memantik decak kagum, tawa, atau amarah massa. Kita hidup dalam zaman attention economy, di mana perhatian adalah komoditas paling bernilai lebih laku daripada kejujuran.
Dalam masyarakat seperti ini, mereka yang tenang dianggap kalah. Yang bijak tidak viral. Mereka yang memilih berpikir sebelum bicara tertinggal oleh yang memilih bicara sebelum berpikir. Lalu kita pun terkecoh. Tertipu oleh jumlah tampilan, jumlah suka, dan jumlah komentar. Tak sadar bahwa semua itu hanyalah angka bisa dibeli, dimanipulasi, bahkan dipalsukan.
Yang lebih gawat, popularitas kini bersifat gelembung. Seseorang bisa sangat dikenal di satu ruang digital tertentu, tapi tak dikenal sama sekali di ruang nyata. Popularitas jadi sangat semu tinggi di layar, tapi kosong di lapangan. Maka, siapa yang terkenal hari ini, bukanlah yang paling berkualitas, melainkan yang paling sering muncul.
Budaya populer telah bergeser menjadi budaya instan. Yang viral menjadi raja. Kita menjadi masyarakat yang lebih menghargai kemasan ketimbang isi. Format lebih penting daripada substansi. Isi kepala dikalahkan oleh pencitraan. Dalam budaya seperti ini, seni, sastra, bahkan kebajikan pun harus menyesuaikan diri dalam format singkat, visual menarik, dan bisa ditonton sambil lalu.
Puisi yang dalam dan filosofis kalah pamor dengan video lipsync. Diskusi etika dan sejarah kalah cepat dengan prank atau tantangan digital. Bahkan kearifan lokal yang mestinya ditanamkan sejak dini, harus bersaing dengan tren menari-nari di depan kamera. Budaya bukan lagi tentang makna, tapi tentang momentum. Yang penting "naik", bukan "nyambung".
Mereka yang berkarya dengan proses panjang dianggap ketinggalan zaman. Penulis yang tak bermain algoritma dianggap tak relevan. Padahal dalam banyak peradaban, karya besar lahir dari kesunyian, dari proses panjang yang tidak instan. Kini semua itu terasa seperti barang antik yang hanya dipajang, bukan dicari.
Dalam ruang pengambilan keputusan publik, dinamika popularitas pun makin berpengaruh. Wacana dan gagasan yang seharusnya menjadi tulang punggung kebijakan sering kali kalah cepat dengan strategi pencitraan. Perilaku komunikasi politik yang dulu dibangun atas dasar visi dan argumentasi, kini cenderung mengikuti logika tontonan.
Perdebatan tak lagi ditujukan untuk memperdalam pemahaman, melainkan untuk memenangkan perhatian. Narasi yang memikat lebih ampuh dari data yang kuat. Di berbagai layar, kita menyaksikan bagaimana isu-isu penting dibungkus dengan gaya dan dramatisasi agar dapat dikonsumsi dalam bentuk yang mudah dicerna atau bahkan sekadar menghibur.