Mohon tunggu...
Dede Abdurahman
Dede Abdurahman Mohon Tunggu... Dosen Universitas Majalengka

Keharian saya dibagi untuk kegiatan mengajar di Universitas Majalengka, kegiatan sosial mengadvokasi Pasien Cuci darah di Wilayah Priangan Jawa Barat bagian timur. kalau ada waktu kadang saya menulis tentang teknologi dan pendidian, sekali kali suka juga nulis tentang korupsi di wilayah priangan dengan metode kajian dan observasi kelapangan.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Revolusi Data di Dunia Ginjal : Bagaimana Artificial Intelligence (AI) mengubah wajah Nefrologi

29 September 2025   22:54 Diperbarui: 29 September 2025   22:54 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Halo rekan-rekan mahasiswa! Di era digital ini, kita sering mendengar istilah "Big Data" dan "Kecerdasan Buatan" Artificial Intelligence (AI) di berbagai bidang, mulai dari e-commerce hingga mobil otonom. Namun, tahukah kalian bahwa kedua teknologi ini juga sedang memicu revolusi senyap di salah satu bidang kedokteran yang paling kompleks: nefrologi, atau ilmu tentang penyakit ginjal.

Secara tradisional, diagnosis penyakit ginjal sangat bergantung pada keahlian seorang dokter dan patolog yang menafsirkan hasil tes laboratorium dan gambar mikroskopis dari biopsi ginjal. Proses ini, meskipun sangat berharga, terkadang menghadapi tantangan dalam hal subjektivitas dan reproduktifitas. Kini, bayangkan jika kita bisa melengkapi keahlian manusia dengan "mata" super canggih yang mampu menganalisis jutaan titik data secara bersamaan, dari level DNA hingga citra jaringan. Inilah janji yang ditawarkan Artificial Intelligence (AI) untuk masa depan penanganan penyakit ginjal.

Fondasi dari revolusi ini adalah ledakan data biomedis, yang sering disebut "big data". Ini bukan sekadar data rekam medis biasa, melainkan data molekuler berlapis-lapis yang sangat detail, yang dikenal dengan istilah "omics". Beberapa di antaranya yang paling relevan untuk ginjal adalah:

  • Genomics: Analisis seluruh "cetak biru" genetik (DNA) seseorang untuk menemukan varian yang mungkin meningkatkan risiko penyakit ginjal.
  • Transcriptomics: Mengukur RNA untuk melihat gen mana yang sedang "aktif" atau "nonaktif" di dalam sel ginjal, memberikan gambaran tentang proses apa yang sedang terjadi.
  • Proteomics: Mempelajari protein, "para pekerja" sesungguhnya di dalam sel. Ini penting karena protein dan modifikasinya seringkali lebih dekat ke fungsi biologis dan penyakit daripada RNA.
  • Metabolomics: Menganalisis molekul-molekul kecil (metabolit) yang merupakan produk akhir dari proses seluler. Ini bisa menjadi penanda (biomarker) yang sangat baik untuk fungsi ginjal.

Apa yang menjadi tantangan rekan rekan mahasiswa sebagai penerus bangsa, karena volume dan kompleksitas data ini jauh melampaui kemampuan analisis manusia. Di sinilah Artificial Intelligence (AI) dan machine learning masuk sebagai "mesin" pengolahnya.

Dalam nefrologi, Artificial Intelligence (AI) memainkan dua peran utama yang saling melengkapi:

  • Sebagai Patolog Digital: Menganalisis Citra Biopsi Patologi ginjal adalah landasan diagnosis, di mana seorang ahli memeriksa irisan jaringan ginjal yang sangat tipis di bawah mikroskop. Artificial Intelligence (AI), khususnya Convolutional Neural Networks (CNNs), kini mampu menganalisis gambar digital dari irisan ini (Whole Slide Images atau WSI) dengan presisi luar biasa. Beberapa tugas yang bisa dilakukan Artificial Intelligence (AI):
  • Deteksi dan Segmentasi: Secara otomatis menemukan dan menghitung struktur penting seperti glomeruli (unit penyaring ginjal), membedakan antara yang sehat dan yang sklerosis (rusak), bahkan menguraikan berbagai kompartemen jaringan seperti tubulus dan interstisium.
  • Kuantifikasi Objektif: Mengukur fibrosis (jaringan parut) secara kuantitatif, di mana beberapa studi menunjukkan Artificial Intelligence (AI) bisa lebih baik daripada penilaian visual oleh manusia.
  • Meningkatkan Reproducibilitas: Penilaian histopatologis untuk penyakit kompleks seperti Lupus Nefritis atau penolakan transplantasi ginjal seringkali memiliki variabilitas antar-pengamat. Artificial Intelligence (AI), karena sifatnya yang deterministik, dapat memberikan hasil yang 100% reprodusibel, membantu standardisasi diagnosis di seluruh dunia.
  • Sebagai Detektif Molekuler: Menghubungkan Gen dengan Penyakit, Selain gambar, Artificial Intelligence (AI) juga unggul dalam menemukan pola tersembunyi dalam data "omics". Tujuannya adalah untuk memahami hubungan antara genotipe (susunan genetik seseorang) dan fenotipe (bagaimana penyakit itu muncul secara klinis dan fisik).  Dengan machine learning, peneliti dapat:
    • Menganalisis data dari ribuan pasien untuk memprediksi risiko perkembangan penyakit, respons terhadap obat tertentu, atau kelangsungan hidup organ transplantasi.
    • Mengidentifikasi varian genetik baru yang berkontribusi terhadap penyakit ginjal.
    • Menggunakan pendekatan supervised learning (di mana AI belajar dari data yang sudah diberi label, misal "pasien A merespon obat X") atau unsupervised learning (di mana AI diminta mengelompokkan pasien berdasarkan profil molekulernya tanpa label awal) untuk menemukan sub-tipe penyakit baru.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun