Mohon tunggu...
Dedy Helsyanto
Dedy Helsyanto Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

@dedy_helsyanto

Selanjutnya

Tutup

Catatan

KPK Bagi-bagi Uang, Mau?

5 Agustus 2010   00:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:18 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi merupakan bahaya laten yang sedang gencar diperangi oleh Indonesia. Korupsi hampir terjadi diseluruh lembaga negara, baik mulai dari tingkat daerah sampai dengan tingkat pusat. Bahaya laten dari korupsi ini sangat merugikan negara, dan akibat buruknya sangat dirasakan oleh masyarakat.

Ditengah maraknya korupsi di Indonesia, dan belum mapannya lembaga hukum seperti kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Berdasarkan UU No 30 tahun 2002, pemerintah membuat lembaga unutuk menangani tindak pidana korupsi yang diberi nama KPK, dengan ketua pertamanya Taufiequrachman Ruki (2003-2007) lalu dilanjutkan dengan Antasari Azhar (2007-2009).

Indonesia yang dalam kondisi mengkhawatirkan dengan tindak pidana korupsinya, serta mendapat ranking 10 besar negara terkorup, sangat berharap dengan keberadaan KPK dalam pemberantasan korupsiini. Awal perjalanan KPK saat dipimpin Antasari Azhar adalah sosok lembaga yang menakutkan para pelaku koruptor, aksinya dibuktikan dengan menangkap langsung di tkp saat terjadi penyuapan, dan bahkan para petinggi di daerah pun tak luput jadi sasaran.

Kini KPK kondisinya mengkhawatirkan, entah sengaja atau tidak, kita dapat melihat desain besar yang sedang dijalankan oleh para pemegang kekuasaan untuk memandulkan KPK. Caranya adalah dengan menghancurkan KPK dari dalam (dengan tuduhan yang tak jelas) dan dari luar (pembentukan satgas mafia hukum oleh Presiden SBY).

Dengan berbagai upaya KPK berusaha bangkit, kondisi KPK yang terombang ambing akibat terpaan badai dari berbagai pihak yang memegang kekuasaan berusaha dilawan. KPK sadar betul, kondisi perlawanan mereka terhadap pemegang kekuasaan mutlak didukung masyarakat, dukungan masyarakat dapat kita lihat melalui bentuk dukungan di dunia nyata bahkan sampai dunia maya terhadap KPK.

Menyadari hal itu, KPK mencoba lebih memaksimalkan masyarakat dalam memberantas korupsi, jelas pasti pada batasan tertentu juga. KPK menjadikan masyarakat sebagai Whistle Blower (pelapor) apabila mengetahui tindak pidana korupsi, minimal di daerahnya sendiri.

Ditengah tugas KPK yang sering di intrvensi, dan tak luput dari tindak ancaman serta kekerasan. Peran Whistle Blower sangat diharapkan dan sebagai bentuk penghargaan terhadap mereka, KPK bersedia memberikan hadiah 100 per mil atau 10% dari kerugian negara yang dikembalikan. Dan ini sudah dibuktikan oleh pelapor dugaan korupsi mantan Bupati Kutainegara, Kaltim. Uang negara yang kembali sebanyak Rp.34 miliar, diberikan 10% atau sekitar Rp.340 juta kepada pelapornya.

Saya rasa carai ini sangat riskan dan kurang effektif. KPK secara tidak langsung akan membentuk budaya suap menyuap pada masyarakat. Dikhawatirkan, ini membuka celah bagi para koruptor, mungkin mereka akan menjanjikan lebih banyak uang ketimbang KPK ketika kasusnya diketahui oleh masyarakat. Ditambah lagi, pengaruh buruk terhadap mental masyarakat yang selama ini mendukung berdasarkan perjuangan dan perlawanan, akan berbalik mencari keuntungan. Mungkin KPK perlu mengkaji lebih mendalam perihal Whistle Blower ini. salam...

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun