Bahkan, Greysia/Apriyani pun terindikasi demikian. Mereka kemudian seperti baru sadar kalau kualitas teknik saja tidak cukup untuk mengalahkan ganda putri muda Malaysia di gim ketiga.
Sebenarnya, Praveen/Melati seperti ingin menunjukkan langsung mode seriusnya sejak awal laga. Ibaratnya, mereka sudah tidak mau "main-main" lagi.
Tetapi, entah apa yang bisa membuat Hoo-Cheah sangat termotivasi untuk mengalahkan Praveen/Melati. Seolah-olah, mereka tidak peduli dengan jarak peringkat dan pengalaman, mereka hanya ingin mengalahkan lawan di depannya.
Itulah yang kemudian membuat saya sempat berpikir, bahwa mungkin Indonesia juga perlu melakukan penyegaran dalam skuadnya. Memang, tidak perlu seekstrem Malaysia, setidaknya sekadar "menukar" jatah.
Seperti jatah utama tunggal putra mulai dipercayakan ke Shesar, alih-alih Jonatan Christie yang sejak Asian Games 2018 seperti terlihat "misi sudah selesai".
Kemudian, ganda putra mulai perlu mencoba "berjudi" dengan Fajar/Rian, sekalipun mereka juga seperti "cepat habis". Namun, apa pun hasilnya, ini mungkin bisa untuk membangunkan "kebuasan" Marcus/Kevin lagi.
Pada sektor ganda campuran memang terlihat sulit. Tetapi, duet Rinov/Pitha patut dipertimbangkan.
Bahkan, keputusan membawa Rinov/Pitha, alih-alih Hafiz/Gloria, patut diapresiasi. Karena, ini juga bisa untuk membuat Hafiz/Gloria perlu mengembangkan kualitasnya.
Kehadiran Rinov/Pitha bisa membuat "jatah" Praveen/Melati tidak otomatis beralih ke Hafiz/Gloria. Kompetisi internal ini sangat penting untuk membuat Indonesia tidak bergantung pada satu-dua pasangan.
Apalagi, kalau pasangan yang diandalkan juga inkonsisten. Ini tidak hanya celaka bagi Indonesia yang bersaing dengan tim-tim kuat, tapi juga untuk bersaing dengan tim-tim kejutan (contoh: Kanada) dan tim muda (contoh: Malaysia).
Pada sektor ganda putri, ini makin rumit lagi, karena duet Greysia/Apriyani seperti standar paling mentok yang bisa kita miliki. Duet yang saling melengkapi dari segi teknik dan nonteknik.