Siapa pun memang punya kesukaan yang berbeda. Ada yang punya alasan, masuk akal, dan ada yang kurang masuk akal. Biasanya bersembunyi pada kata "feeling".
Tidak apa-apa. itu hak, kok.
Tetapi, terkadang saya perlu membahas tentang mengapa seseorang ketika menyukai sesuatu sebaiknya tetap ada upaya memilih, membandingkan, dan memikirkan apa indikator dalam menyukai. Bahkan, sekalipun indikatornya kurang masuk akal.
Ini juga bisa diterapkan dalam menyukai sepak bola. Orang yang menyukai sepak bola secara umum memang akan menyukai permainannya, tetapi secara khusus orang tersebut biasanya akan menyukai yang lebih spesifik.
Bisa klub, bisa liga, bisa pula pemainnya, pelatihnya, bahkan juga menyukai tim nasional selain tim nasional dari negaranya sendiri. Contohnya saya, yang menyukai Timnas Prancis walaupun bukan orang Prancis.
Kenapa harus Prancis? Bukankah jawara Piala Dunia 2006 adalah Italia?
Betul. Tetapi, saya menyukai Prancis, karena tim nasional ini seperti terlihat inklusif dibandingkan tim nasional lain.
Sejauh yang saya tahu, tim nasional dari Eropa saat itu masih jarang yang mengandalkan pemain keturunan imigran sebanyak Prancis. Ini membuat saya merasa tertarik dengan Prancis.
Tentu, salah satu pemain yang membuat saya makin tertarik adalah Zinedine Zidane. Terlepas dari dirinya adalah pemain Juventus dan Real Madrid, bukan Inter Milan dan Barcelona.
Berbeda dengan di Italia. Saat itu, saya masih abu-abu. Hanya yang membuat kepastian adalah saya tidak tertarik kepada Juventus. Kenapa?
Entah logis atau tidak, saya memang kurang suka dengan hal-hal yang bersifat dominan. Seperti Manchester United di Inggris, dan tentunya Juventus di Italia.
Begitu pula dengan warna. Walaupun saya saat itu belum suka berpakaian warna gelap, saya pikir, warna putih kurang menarik.
Itulah kenapa Real Madrid sekalipun punya sederet pemain, saya pikir mereka terlalu polos untuk mengenakan warna putih. Apa justru karena mereka penuh gemerlap pemain bintang, maka warna yang pas adalah putih? Mungkin.
Tetapi, jika harus kembali kepada Zidane, saya hanya fokus pada dirinya. Bukan pada di mana dia bermain. Hanya saja, ketika dia berada di tim Prancis, maka itu semacam paket komplet untuk menunjang pilihan saya terhadap tim nasional yang saya sukai.
Kenapa tidak Thierry Henry? Padahal dia pemain Arsenal.
Memang, saya suka Arsenal. Tapi, itu pun baru saya pastikan selepas final Liga Champions yang mempertemukan Barcelona dengan Arsenal.
Bahkan, lebih tepatnya, saya menyukai Arsenal ketika mereka bertemu dengan Liverpool (21 April 2009). Dalam pertandingan itu, Andrei Arshavin mencetak empat gol untuk menyamakan kedudukan menjadi 4-4.
Artinya, saya menyukai Arsenal sudah bukan di era kejayaan Arsenal. Ketika Arsenal merengkuh trofi emas Premier League, saya masih menyukai Liverpool karena Sami Hyypia, bukan Steven Gerrard pula.
Bahkan, kala itu saya cenderung kurang suka dengan Henry, karena dia bukan pemain yang mau bertahan ketika timnya sedang diserang. Memang, yang saya ingat saat itu hanya dalam satu pertandingan, tetapi saya pikir itu sudah cukup untuk membuat saya tidak perlu menyukai pemain yang sudah banyak penggemarnya.
Artinya, pemain itu sudah jelas tetap bagus dan tetap seorang legenda sekalipun bukan idola saya. Tidak harus semua pemain hebat adalah idola kita, kan?
Begitu pula ketika Prancis menjadi tim nasional yang saya sukai, namun pada kenyataannya saya belum pernah menonton Ligue 1 saat itu. Tentu, kalau seandainya ada siaran Ligue 1, kemudian di waktu bersamaan ada siaran Premier League, saya akan pilih menonton Premier League. Kenapa?
Karena, saat itu yang saya pikirkan adalah kefamilieran. Kemudian, saya berpikir bahwa membicarakan sepak bola Prancis itu bukan hal menarik di lingkungan yang sebagian besar menonton Premier League dan Serie A.
Mau bicara dengan siapa? Sama orang Prancis?
Tetapi, uniknya, saya berpikir bahwa faktor kefamilieran ini menjadikan seseorang cenderung memilih untuk mendukung tim nasional Inggris. Bagaimana tidak begitu, setiap pekan selalu melihat Frank Lampard, Steven Gerrard, Paul Scholes, Jamie Carragher, John Terry, Ashley Cole, Wayne Rooney, David Beckham, David James, bahkan juga Peter Crouch.
Bahkan, saya ingat saat itu sekitar dekade 2000-an akhir, Liverpool sempat kesulitan memenuhi kuota pemain homegrown. Menariknya, mereka merupakan tim kuat yang sangat diperhitungkan di Liga Champions.
Artinya, pemain-pemain yang membuat mereka sukses adalah pemain impor. Seperti Fernando Torres, Xabi Alonso, Javier Mascherano, hingga Pepe Reina.
Klub yang masih cukup mengandalkan pemain homegrown dan berkualitas saat itu adalah Manchester United. Di lini belakang masih ada Rio Ferdinand dan duo Neville. Di gelandang ada Paul Scholes, Michael Carrick. Lalu, di depan tentu ada Wayne Rooney.
Secara sederhana, klub kuat asal Inggris yang memang mengandalkan pemain asal Inggris tidak banyak. Itulah kenapa, Timnas Inggris yang sering digadang sebagai tim kuat dan bertabur bintang, jangan-jangan karena kita lebih familier dengan skuadnya. Bukan karena kita melihat permainan mereka di timnas.
Sebenarnya, memberikan penilaian dan pujian atas dasar mengenal memang tidak salah. Tetapi, bagaimana kalau itu membuat kita seperti kurang mampu untuk menilai, membandingkan, dan memilih?
Sebenarnya, ini bukan berarti saya tidak menganggap timnas Inggris kuat. Tentu, mereka kuat. Secara skuad, mereka bisa saja sepadan dengan timnas lain yang mampu juara, seperti Jerman, Italia, Spanyol, dan tentunya Prancis.
Tetapi, bagaimana dengan permainan? Bagaimana dengan mentalitas?
Memang, tim Inggris sekarang mulai lebih adaptif terhadap strategi bermain. Itu seperti yang diperlihatkan ketika mereka bermain di Euro 2020.
Sekilas, mereka tampak berbeda dengan tim Inggris di Piala Dunia 2010. Ketika itu, Inggris terlihat masih berani mengandalkan permainan di lini tengah berduel dengan Jerman di semifinal.
Itu tidak lepas dari masih adanya gelandang berpengalaman seperti Frank Lampard atau juga Steven Gerrard. Di sana juga ada Joe Cole dan Rooney yang dapat diandalkan untuk membantu Crouch mendobrak lini pertahanan lawan.
Namun, kalau boleh menyandingkan, para pemain ini masih belum bisa menyandingi permainan Jerman. Terutama dalam kolektivitas.
Inggris secara bertahan memang cukup solid dan bagus. Namun, dalam menyerang, mereka masih sering mengandalkan permainan individu. Itu berbeda dengan Jerman yang berupaya membongkar pertahanan Inggris dengan melibatkan banyak pemain dalam menguasai bola.
Mereka juga memanfaatkan lebar lapangan untuk mengeksploitasi pertahanan Inggris yang cenderung lebih kuat di tengah. Sedangkan di sisi sayap, mereka rentan diserang.
Kemudian, mentalitas Inggris mulai goyah terutama ketika tendangan spekulatif Lampard ke gawang Neuer tidak disahkan sebagai gol, meskipun bola terlihat sudah melewati garis dalam gawang. Saat itulah, Jerman mulai memanfaatkannya sebagai momentum menyerang habis pertahanan Inggris.
Mengapa di sini saya menyebut tentang mentalitas? Karena, ini sangat penting untuk dikerahkan dalam bertarung di turnamen.
Keterampilan individu saja tidak cukup. Begitu pula dengan jam terbang dalam menghadapi tekanan.
Saya pikir sekuat-kuatnya tim Inggris, mereka cenderung mencoba mencari jalan yang aman. Bisa secara individual, maupun secara kolektif.
Secara individual bisa dilihat dari pemain-pemain Inggris yang tidak banyak yang berkarier di luar negeri, dan sebagai pemain bintang. Artinya, mereka tidak banyak tahu tentang bagaimana berada di tekanan yang sangat besar.
Mereka seperti sudah tahu bahwa Inggris adalah pusat berkumpul banyak pemain terbaik, maka mereka tidak perlu ke mana-mana. Itu juga diiringi dengan kebijakan transfer komedi yang menempatkan pemain homegrown berharga fantastis, padahal juga dibeli oleh klub sesama Inggris.
Kalau pemain seperti Harry Kane dibeli mahal oleh Real Madrid, saya akan terima itu dengan sukacita. Artinya, pemain Inggris sehebat Kane memang tidak muluk untuk bermain di tim seglamor El Real.
Tetapi, bagaimana kalau ujung-ujungnya yang membeli Manchester City atau Manchester United?
Secara kualitas klub, pemain yang pindah dari Tottenham Hotspur ke antara duo Manchester memang seperti naik kelas. Tetapi, secara atmosfer kompetisi, dia tidak akan merasakan banyak perbedaan.
Dia tetaplah raja di kerajaannya sendiri, bukan di kerajaan orang lain. Dalam arti yang positif tentunya.
Ini yang sebenarnya saya sayangkan. Meskipun, saya tidak lupa bahwa Michael Owen dan David Beckham pernah berkarier di ReaL Madrid, atau minimal ada pemain Inggris berstatus bintang yang memang berani mencoba keluar dari zona nyaman.
Begitu juga dengan sekarang adanya Kieran Trippier dan Jadon Sancho. Itu adalah nilai positif bagi pemain Inggris untuk mencoba berkembang dengan belajar di negeri orang lain.
Dengan begitu, mereka biasanya akan lebih tahu bagaimana menyikapi partai "hidup-mati". Itulah kenapa, mencari manajer Inggris yang bisa berkarier cemerlang sangat susah. Bahkan, tidak ada untuk ukuran satu dekade terakhir 2010-2020.
Sir Alex Ferguson memang mendapatkan gelar kehormatan dari Ratu Elizabeth 3. Tapi, dia adalah orang Skotlandia.
Siapa lagi yang keren dari Britania Raya?
Itulah kenapa, klub-klub besar Inggris mayoritas dilatih manajer asing. Karena, mereka secara pribadi sudah makan asam-garam terhadap tekanan terkait pertaruhan kariernya.
Mereka pun seperti menganggap Premier League adalah puncak karier kepelatihan. Tidak heran kalau pelatih asing seperti Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, Claudio Ranieri, Rafael Benitez, Antonio Conte, hingga Pep Guardiola dan Thomas Tuchel merapat ke Premier League.
Di sanalah mereka berupaya menunjukkan kualitas terbaiknya dalam melatih. Ini juga yang membuat mengapa pada akhirnya tim Inggris seperti punya cara untuk bermain lebih adaptif, terutama di Euro 2020.
Hal itu bisa terjadi, karena....
Bersambung.
Malang, 27 Juni 2021
Deddy Husein S.
Catatan: Mohon maaf, tulisan ini harus bersambung. Terima kasih sudah berkenan membacanya. Salam bola!