Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Barcelona ala Setien Kalah, Apa yang Salah?

26 Januari 2020   07:12 Diperbarui: 26 Januari 2020   12:51 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Messi terlihat tak bahagia dengan situasi pertandingan di Estadio Mestalla (25/1). Sumber gambar: Reuters

Tidak ada.
Hanya, Barcelona akan kembali seperti masa Pep Guardiola yaitu mampu menguasai permainan, bermain cantik, namun akan mudah jenuh.

Permainan mereka juga akan mudah ditebak dan dapat dilawan dengan satu gaya permainan. Yaitu anti tiki-taka, alias bermain pragmatis nan efektif.

Hal ini juga akan membangkitkan gairah lawan-lawan Barcelona, termasuk Real Madrid untuk kembali bermain anti tiki-taka setelah sempat "mengubur" strategi itu pasca melunturnya gaya tiki-taka Barcelona.

Satu-satunya pelatih Barcelona yang mampu mewarisi tiki-taka pasca Pep pergi hanyalah alm. Tito Vilanova. (Football-tribe.com)Selepas itu Barcelona diajak ke gairah pelatih-pelatih tertentu yang memiliki sedikit perbedaan (filosofi) yang membuat gaya main Barcelona juga berbeda.

Sebenarnya nyaris tidak ada pelatih di Barcelona yang membuat tim raksasa Catalan itu terpuruk. Memang ada Gerardo "Tata" Martino yang dianggap gagal melatih Andres Iniesta dkk, namun dirinya tetap patut diapresiasi karena masih berupaya keras membawa Barcelona bersaing di La Liga. (Goal.com)

Begitu juga dengan Ernesto Valverde. Dia masih mampu membawa Barcelona menguasai La Liga meski mereka gagal di Liga Champions dan Copa del Rey 2019/20. Namun, rata-rata publik merasa bahwa itu karena Messi. Apakah benar?

Tidak semua pertandingan yang ada Messi diatas lapangan dapat berbuah kemenangan bagi Barcelona. Salah satunya adalah di laga terbaru La Liga yang mempertemukan Valencia dengan Barcelona (25/1).

Messi melihat suasana di Estadio Mestalla (25/1). | Sumber gambar: Reuters
Messi melihat suasana di Estadio Mestalla (25/1). | Sumber gambar: Reuters
Hasilnya, Barcelona kalah 2-0 dari tuan rumah dan Messi bermain penuh di laga tersebut. Itu membuktikan bahwa Barcelona juga bisa dikalahkan ketika ada Messi. Sehingga, permainan Barcelona sebenarnya tetap bergantung pada taktik pelatih dan eksekusi dari pemain -bukan Messi saja.

Setien adalah eks Real Betis yang mengaku menganut filosofi Johan Cruijff. | Sumber gambar: Goal.com
Setien adalah eks Real Betis yang mengaku menganut filosofi Johan Cruijff. | Sumber gambar: Goal.com
Sesederhana apapun taktik pelatih tersebut, perannya tetap perlu diperhitungkan. Begitu pula dengan Quique Setien. Pria Spanyol itu juga perlu diberi kesempatan untuk melatih klub sebesar Barcelona, meski banyak orang yang merasa asing dengannya.

Kehadirannya juga terlihat mampu membangkitkan gairah kepada para pemain Barcelona. Itu adalah poin penting dalam permainan tim di sepak bola. Tanpa gairah, sejenius apa pun taktik pelatihnya, akan menguap begitu saja jika para pemainnya gagal memberikan gairah yang besar.

Barcelona perlu gairah besar. Karena sejak dua musim terakhir mereka mulai terlihat kehilangan gairah khususnya ketika harus bermain tandang, apalagi di Liga Champions. Suatu hal yang tentu aneh jika itu terjadi pada Barcelona.

Dengan hadirnya Setien, para pemain menjadi lebih percaya diri lagi untuk menguasai bola dan ini akan membuat lawan-lawannya kembali terlihat inferior. Seperti kala Barcelona dilatih Pep dahulu.

Begitu pula dengan masa itu, Barcelona juga pernah memiliki permasalahan. Yaitu counter attack. Melalui skema ball possession ala tiki-taka, mereka dituntut harus mampu menjaga bola sebaik mungkin agar tidak direbut lawan dan menghasilkan serangan balik.

Situasi tersebut awalnya tak begitu dibaca oleh lawan, kecuali satu sosok, Jose Mourinho. Bersama Inter Milan, Mourinho mulai mendemokan gaya main yang dapat merusak kehebatan Barcelona, yaitu bermain pragmatis.

Hal ini semakin terlihat ketika Mourinho merapat ke Madrid pasca mengantarkan Inter Milan meraih treble winner di tahun 2010. Saat El Clasico, pertempuran diatas lapangan menjadi sengit. Karena keduanya (Pep dan Mou) memiliki filosofi yang kontras namun sama-sama solid.

Suasana El Clasico di masa Guardiola dan Mourinho. | Sumber gambar: Marca.com
Suasana El Clasico di masa Guardiola dan Mourinho. | Sumber gambar: Marca.com
Pep sangat loyal dengan ball possession, Mou sangat menggandrungi transisi cepat dari bertahan ke menyerang. Hasilnya cukup menarik, meski Mou tidak mampu bertahan lama di Santiago Bernabeu.

Setidaknya hal ini dapat menginspirasi Diego Simeone untuk membuat formulasi permainan yang lebih solid dan bisa dibuktikan dengan keberhasilan mereka menjadi juara La Liga di tahun 2014, meski mereka tidak mampu mencicipi juara Liga Champions karena kalah dari Real Madrid di final.

Ketika Pep hengkang (Tempo.co), dan tak ada lagi yang mampu menerapkan tiki-taka dengan seluwes Pep, maka tim-tim lawan mulai berani menghadapi Barcelona dengan strategi variatif. Memang, diantara mereka masih ada yang menerapkan compact defense, namun hal itu tidak dilakukan secara khusus seperti era Guardiola.

Kini, kelemahan Barcelona di era Guardiola mulai dapat terendus lagi. kejadian ini persis seperti Barcelona di era akhir kepelatihan Guardiola. Messi dkk saat itu mulai terlihat "bosan" dengan permainan tiki-taka, dan membuat mereka kehilangan magis.

Pep Guardiola menyatakan perpisahannya dengan Barcelona. | Sumber gambar: Tempo.co
Pep Guardiola menyatakan perpisahannya dengan Barcelona. | Sumber gambar: Tempo.co
Guardiola pun terlihat menyadari itu. Dia yang semakin kehilangan rambutnya mulai perlu penyegaran. Begitu pula pada Barcelona, mereka perlu penyegaran taktik. Hingga akhirnya terjadi beberapa pergantian pelatih hingga bertemulah dengan sosok yang bernama Luis Enrique.

Sosok inilah yang sebenarnya cukup tepat melatih Barcelona. Karena, dia tidak terlalu fanatik dengan tiki-taka meski dia tahu bahwa Messi dkk saat itu masih terikat "budaya" tiki-taka, dan dia juga eks El Barca sebagai pemain.

Langkah yang tepat bagi Enrique adalah memodifikasi permainan Barcelona. Mereka tidak lagi hanya bermain ball possession, melainkan juga bermain cepat dan praktis. Beruntungnya, saat itu Enrique memiliki trio hebat, Messi-Suarez-Neymar (MSN).

Luis Enrique dan Xana rayakan juara Liga Champions di musim debut bersama Barcelona. | Sumber gambar: Huffingtonpost.it
Luis Enrique dan Xana rayakan juara Liga Champions di musim debut bersama Barcelona. | Sumber gambar: Huffingtonpost.it
Bersama Enrique pula, Barcelona masih bisa merayakan gelar juara Liga Champions 2015. Ini yang membuat Enrique sebenarnya pengganti Guardiola yang tepat. Hanya, waktu yang membuat Barcelona kembali ingin merasakan perubahan.

Hal ini yang kemudian kembali terjadi pada masa kepelatihan Valverde. Hanya, yang membuat Valverde perlu angkat kaki adalah catatan tandang Barcelona mulai tidak begitu baik. (Detik.com)

Puncaknya sebenarnya pada kegagalan mereka di akhir musim kemarin. Hal ini kemudian diperparah ketika harus kalah saat berlaga di Piala Super Spanyol saat melawan Atletico Madrid. Uniknya, di laga terbaru, Barcelona juga harus mengalami kekalahan dari sesama kontestan Piala Super Spanyol yang digelar di Arab Saudi diawal tahun 2020 ini.

Valencia adalah juara bertahan Copa del Rey 2019 dan mereka juga yang mengalahkan Barcelona di final tersebut. Sehingga ada faktor kepercayaan diri bahwa mereka akan dapat mengalahkan Barcelona lagi.

Memang, pelatih dari kedua tim tersebut telah berbeda. Namun dengan gaya main Barcelona yang seolah kembali seperti saat dilatih Pep Guardiola, maka Valencia cukup bisa memprediksi arah permainan Barcelona.

Statistik laga Barcelona saat bertandang ke Ibiza. | Sumber gambar: Google/Copa del Rey 2019/20
Statistik laga Barcelona saat bertandang ke Ibiza. | Sumber gambar: Google/Copa del Rey 2019/20
Terbukti Barcelona kembali memainkan ball possession besar seperti saat bertandang ke Ibiza di ajang Copa del Rey. Ini yang membuat Valencia bisa menerapkan strategi bermain cepat menyerang dan meneror pertahanan Blaugrana.

Statistik Valencia vs Barcelona (25/1). | Sumber gambar: Google/La Liga 2019/20
Statistik Valencia vs Barcelona (25/1). | Sumber gambar: Google/La Liga 2019/20
Apalagi Los Che juga terlihat seperti menerapkan apa yang dilakukan Ibiza yaitu berani menekan pertahanan Barcelona di babak pertama. Ini membuat Pique dkk tidak nyaman dengan situasi tersebut.

Maxi Gomez rayakan golnya bersama suporter tuan rumah. | Sumber gambar: Reuters
Maxi Gomez rayakan golnya bersama suporter tuan rumah. | Sumber gambar: Reuters
Beruntung di satu momen awal babak pertama, eksekusi penalti Maximiliano Gomez gagal menjadi gol setelah ditepis Marc-Andre ter Stegen. Kiper asal Jerman itu bisa dikatakan patut menjadi man of the match di laga itu setelah Gomez yang akhirnya berhasil menjebol jala ter Stegen dua kali.

Kekalahan ini memberikan sinyal bahaya yang prematur bagi Barcelona dan Setien. Namun, jika mengacu pada pernyataan Setien, hasil di laga itu dapat menjadi representasi atas masa adaptasi para pemain Barcelona dengan pelatih baru dan taktik baru, seperti klub-klub lain. (Bola.net)

Lalu, apakah Barcelona akan bangkit dan membuktikan bahwa mereka hanya sedang berada di masa adaptasi? Atau hasil laga di Estadio Mestalla tersebut adalah alarm positif bagi lawan untuk berlomba-lomba mengalahkan Barcelona?

Harapannya memang Barcelona dapat membuktikan bahwa mereka hanya sedang berada di masa adaptasi. Namun, dengan masih adanya beberapa pemain yang tahu praktik tiki-taka, seharusnya mereka tidak kagok untuk memeragakan tiki-taka secara sempurna -bermain cantik dan menang.

Statistik laga perdana Quique Satien bersama Barcelona. | Sumber gambar: Google/La Liga 2019/20
Statistik laga perdana Quique Satien bersama Barcelona. | Sumber gambar: Google/La Liga 2019/20
Selain itu, mereka juga harus segera memperbaiki produktivitasnya. Karena dengan gaya main ball possession sedemikian rupa mereka akan dapat dikalahkan oleh tim yang mampu tampil efektif dalam menyerang.

Jika Valencia saja sudah mampu mengalahkan Barcelona, tentu di partai El Clasico Real Madrid juga dapat mengalahkan mereka, karena mereka memiliki skuad yang lebih produktif dan itu bisa menjadi ancaman besar bagi Setien, Barcelona, Messi, dan tiki-taka jilid kedua.

Hm... menarik untuk dinantikan.

Selebrasi Messi usai jebol gawang Granada. | Sumber gambar: Tempo.co
Selebrasi Messi usai jebol gawang Granada. | Sumber gambar: Tempo.co

Malang, 26 Januari 2020
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun