Lalu, mengapa hal itu sering terjadi? Mengapa pula mereka yang tidak ingin jadi pemimpin pada akhirnya tetap terlibat dalam bursa transfer jabatan?
Pertama, karena waktu. Waktu yang terus berjalan, akan membuat setiap individu akan datang dan pergi, naik dan turun. Begitu pula pada pemimpin. Pada masanya, mereka akan turun tahta. Sehingga, membutuhkan pemimpin yang baru.
Itulah sebabnya orang-orang yang berada di lingkup modal sosial akan terus bergerak untuk mencari siapa yang akan dapat menjadi pemimpin baru. Dialah yang harus menggantikan sang pemimpin lama. Dia yang harus datang dan naik.
Kedua, karena siklus status. Bahkan, di lingkup penganut feodalisme pun, siklus status tetap ada. Meski, sulit untuk menyeberang ke siklus status yang berbeda -lintas kasta.
Contoh, seorang anak pedagang pada akhirnya menjadi pedagang seperti orangtuanya. Peralihan ini tetap bisa disebut siklus status. Meski terlihat sederhana dan tidak menyeberang.
Atau ketika awalnya menjadi anggota divisi humas, lalu di periode selanjutnya menjadi anggota di divisi yang berbeda. Itu juga dapat disebut siklus status, meski terlihat sejajar.
Inti dari siklus status adalah adanya perubahan tanggung jawab dan apa yang harus dipelajari. Ketika menjadi anggota saja, belum tentu tanggungjawabnya sebesar kepalanya. Begitu juga ketika pindah divisi, maka yang dipelajari pasti akan berbeda.
Itulah manfaat utama dari keberadaan siklus status. Baik yang secara horisontal maupun vertikal. Mereka yang terlibat dalam siklus tersebut akan tergembleng dengan pengalaman-pengalaman tersebut sebelum pada akhirnya berada di puncak.
Alasan ketiga atau yang terakhir adalah pengalaman. Meski pengetahuan itu penting, namun pengalaman biasanya akan diutamakan dalam menggodok bursa transfer yang kian memanas. Disinilah orang-orang akan sulit mengelak untuk menerima jabatan.