Inilah yang seringkali menjadi kebobrokan masyarakat dewasa ini. Masyarakat terlalu mudah terbuai dengan apa yang diucapkan dan yang ditunjukkan. Masyarakat terlalu mudah terjebak pada simbol-simbol. Masyarakat juga tidak mampu menerima dulu informasi tersebut dan menelaahnya sebelum ditanggapi.
Inilah yang membuat masyarakat selalu mudah heboh dan yang dihebohkan adalah sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan terlalu berlebihan. Memang, apa yang diungkapkan Agnez Mo cukup kontroversial.
Namun, kita tidak bisa segera mengeluarkan penilaian negatif terhadapnya jika kita masih belum mampu menelaah informasi tersebut dengan baik.
Itulah poin krusialnya, kegagapan dalam menerima informasi. Tidak ada proses berpikir jernih dan ini cukup memalukan bagi negara yang berupaya untuk maju, namun masyarakatnya masih kesulitan untuk mengelola informasi dengan bijak.
Jika hal ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan bahwa negeri ini terus berkutat pada permasalahan-permasalahan yang tidak terlalu penting. Mengapa?
Kita dapat ambil contoh pada dua sosok yang juga melakukan pindah kewarganegaraan. Yaitu, Anggun C. Sasmi dan B.J. Habibie. Keduanya secara administratif adalah orang Prancis dan Jerman. Namun, apakah keduanya mampu melunturkan rasa cintanya dengan Indonesia?
Tidak. Buktinya, Anggun C. Sasmi masih eksis di jagad hiburan Indonesia. Begitu pula Alm. B.J. Habibie. Beliau bahkan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Artinya, rasa cinta dan nasionalisme terhadap negara itu sepenuhnya menjadi pertanggungjawaban individu, bukan masyarakat.
Kita hanya bisa merespon dan tidak suka terhadap apa yang dikatakan Agnez Mo dan keputusan orang-orang lain yang pindah kewarganegaraan, namun kita tidak pernah berhak untuk menilai bahwa orang tersebut tidak cinta lagi dengan Indonesia -jika seandainya ada yang pindah kewarganegaraan. Karena, kita tidak pernah tahu apa yang ada di pikirannya, apalagi yang terjadi di kehidupannya selama ini.
Dari sini, penulis menemukan dua hal yang dapat menjadi sinyal evaluasi kita bersama. Pertama, mengurangi "keluwesan" lidah dan jempol kita dalam menilai orang lain dengan cepat dan berduyun-duyun. Lalukan hal yang lebih penting. Misalnya, gotong-royong membersihkan lingkungan desa masing-masing. Itu jauh lebih bermanfaat.