Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Final yang Tertunda Seharusnya Beri Pelajaran kepada PSSI

28 Juli 2019   20:47 Diperbarui: 29 Juli 2019   05:17 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finalis Piala Indonesia 2018. (Foxsports.co.id)

Setiap ada ide pasti dibaliknya terdapat konsekuensi selain manfaat. Begitu pula pada keputusan yang diambil oleh PSSI terhadap format Piala Indonesia 2018. Jenis kompetisi model turnamen panjang itu nyatanya belum segera tuntas, ketika tahun 2019 sudah melewati batas pertengahan awal kalender.

Jadwal kompetisi yang sedari awal tidak bisa sama-sama jalan antara liga dan piala liga, membuat Piala Indonesia 2018 terkesan seperti kompetisi "seumur hidup" bagi para kontestannya. Apalagi yang sanggup mencapai babak final, terasa panjang sekali.

Dua tim yang berhasil menjejak final di kompetisi ini adalah dua tim yang juga sama-sama bersaing memperebutkan gelar juara di Liga 1 2018; Persija dan PSM. Sehingga partai final ini terasa seperti partai "uji nyali" yang kedua, setelah keduanya juga berjuang hingga pekan terakhir liga untuk memastikan gelar juara di musim lalu. Liga 1 2018 pun berakhir dengan mengeluarkan tim ibukota sebagai jawaranya.

Kini, Piala Indonesia 2018 sudah mencapai partai terakhirnya, dan kedua tim sedang berupaya untuk meraih gelar juara tersebut sebagai pembuktian. Jika Persija juara, maka keberhasilan di musim lalu bukanlah suatu kebetulan ataupun keajaiban selayaknya kisah juara Leicester City di Premier League (Inggris).

Sedangkan bagi PSM, gelar juara di Piala Indonesia 2018 akan menjadi pembuktian bahwa mereka adalah tim yang sudah pantas untuk berpesta juara bersama skuadnya yang tetap solid dari musim lalu hingga musim ini.

Persamaan dari keduanya jika salah satu menjadi juara adalah mereka akan membuktikan diri bahwa pergantian pelatih bukanlah suatu permasalahan yang besar untuk menggapai keberhasilan dari pondasi yang sudah ditanamkan oleh pelatih sebelumnya. Dari sini, masyarakat gibolers pun mulai berpikir, bahwa siapapun layak menjadi juara jika mereka ingin membuktikan diri mampu move on setelah berpisah dengan pelatihnya masing-masing.

Meski demikian, tetap saja, ada perbedaan yang dimiliki oleh kedua tim ini ketika berduel di final. Perbedaan itu sudah terlihat di partai final leg 1. Perlu diketahui lagi, bahwa format di Piala Indonesia 2018 ini terbilang unik, karena partai finalnya digelar dua kali, yaitu dengan format kandang-tandang.

Suatu bentuk yang unik dan cenderung klasik. Tahun sudah menunjukkan angka 2019, namun di Indonesia masih ada sistem kandang-tandang untuk finalnya, selayaknya turnamen AFF Cup yang juga menggunakan sistem yang sama.

Alasannya adalah adanya misi menggerakkan perekonomian rakyat dengan mengadakan seluruh laga di Piala Indonesia berformat kandang-tandang. Memang, ide ini sangat mulia, namun laga seperti final seharusnya tidak lagi berbicara soal ekonomi, melainkan lebih berbicara soal kualitas penyelenggaraan partai puncak tersebut. Jangan sampai mengedepankan semangat membangun perekonomian melalui sepakbola, namun melupakan kualitas pertandingan tersebut.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa ide ini juga ada "belangnya". Yaitu, bagaimana jika tim yang menggelar leg kedua adalah tim yang sedang tertinggal secara agregat? Bagaimanakah atmosfernya? Apakah akan kondusif?

Kita tidak akan berbicara soal positive thinking dan negative thinking, melainkan pada rasionalitas terhadap fakta yang ada di sepakbola, khususnya di Indonesia. Indonesia sudah sejak beberapa tahun terakhir ini terus bergulat pada kasus yang melibatkan sepakbola sebagai "sumbernya".

Inilah yang seharusnya dipikirkan oleh pihak PSSI sebagai pihak yang sangat diharapkan dapat menjadi penegak dan penjaga sportivitas di sepakbola Indonesia. Termasuk adanya upaya belajar dari penyelenggaraan turnamen maupun kompetisi yang diadakan oleh pihak-pihak lain yang lebih maju, seperti UEFA dan FIFA atau minimal meniru pola kerja FA (PSSI-nya Inggris).

Di Inggris dengan FA-nya, setiap final Piala FA dan Piala Liga (EFL Cup) selalu digelar sekali di Wembley Stadium ataupun tempat netral. Terkhusus pada Piala FA formatnya sudah jelas, bahwa setiap final akan digelar di ibukota; London dan pasti di Wembley. Tidak peduli apakah yang lolos ke final adalah tim asal London (Arsenal, Chelsea, Tottenham Hotspur, West Ham, dll) atau bukan, mereka pasti akan menggelar final di sana.

Inilah yang sebaiknya ditiru oleh PSSI. Apalagi, FA Cup itu format kompetisinya sama seperti Piala Indonesia, yaitu "menggerakkan" semua klub dari divisi terbawah sampai divisi teratas. Sehingga, tidak ada salahnya jika PSSI juga mengikuti jejak FA dengan menggelar partai final di ibukota, apapun alasannya. Toh, kita punya stadion megah dan sarat sejarah seperti Gelora Bung Karno (GBK), yang sama seperti Wembley yang juga merupakan salah satu stadion bersejarah di Inggris.

FA Cup biasanya digelar di Wembley Stadium yang terletak di London. (Radiotimes.com)
FA Cup biasanya digelar di Wembley Stadium yang terletak di London. (Radiotimes.com)

Lupakan dulu soal misi membangun sepakbola dengan turut membantu meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia. Toh, dengan adanya format tandang-kandang yang diterapkan selama kompetisi bergulir, sudah cukup menguntungkan semua klub, dan itu terasa lebih adil.

Jadi, untuk apa ada final dua kali jika itu hanya akan membuat klub-klub yang kuat (pasti bertahan lama di kompetisi) semakin kuat finansialnya sedangkan klub-klub yang lain -yang lekas gugur dari kompetisi- masih terseok-seok/tanpa pemasukan tiket yang lebih.

Kompetisi seperti Piala Indonesia tidak akan bisa disamakan seperti Liga 1 yang dapat menjangkau seluruh aspek (teknis dan non-teknis). Piala Indonesia seharusnya lebih mengedepankan pada kemajuan kualitas sepakbola di atas lapangan saja dibandingkan faktor non-teknis lainnya. Semisal memperhitungkan untung-rugi pendapatan klub dalam satu musim kompetisi.

Hal ini tidak bisa dilakukan oleh klub peserta Piala Indonesia. Karena, format Piala Indonesia adalah sistem gugur dan mirip turnamen. Sehingga, setiap klub akan lebih fokus pada hasrat bertahan selama mungkin di atas lapangan dengan kualitas permainan tim tersebut, bukan dengan memperhitungkan hal-hal lain.

Berbeda dengan Liga 1 yang harus memikirkan aspek kehidupan klub itu dalam jangka panjang, sedangkan Piala Indonesia adalah jangka praktis bagi setiap klub. Karena, mereka sudah sadar, bahwa siapa yang dapat bertahan lebih lama, biasanya merekalah yang terbaik secara kualitas permainan. Hal ini sama seperti di sepakbola Inggris, siapa yang meraih gelar juara FA Cup dalam tiga tahun terakhir? Tetap saja klub mapan nan berkualitas, bukan?

Dari sinilah, kita dapat mengedepankan Piala Indonesia sebagai kompetisi yang digelar tidak "bertele-tele". Kompetisi ini harus lebih praktis, karena, fokus semua klub pasti ada di liga. Sehingga, jika secara format saja sudah panjang (mempertemukan semua divisi), maka di akhir perjalanan pun kompetisi ini harus sesegera mungkin dapat berakhir. Tujuannya pun lebih jelas dan lebih bagus bagi klub-klub itu, yaitu kembali fokus ke liga. Karena, itulah jalan besar mereka yang harus mereka arungi setiap tahun.

Opsi lainnya adalah seperti UCL dan UEL yang selalu memilih satu venue netral untuk final. Pemilihan ini juga harus dilakukan sebelum kompetisi dimulai, agar venue dapat disiapkan dengan baik. (Satelitmania.com)
Opsi lainnya adalah seperti UCL dan UEL yang selalu memilih satu venue netral untuk final. Pemilihan ini juga harus dilakukan sebelum kompetisi dimulai, agar venue dapat disiapkan dengan baik. (Satelitmania.com)

Jika laga final dilangsungkan sekali dan itu digelar di Stadion GBK, tentu hal ini akan menambah semangat bagi semua klub untuk berupaya tampil di GBK. Toh, stadion utama di ibukota itu sudah jarang digunakan oleh Persija sebagai kandangnya. Sehingga, tidak ada lagi alasan netral dan tidak netral, melainkan semangat dan mentalitas.

Semangat di sini artinya adalah semua klub dan pemain akan berlomba untuk dapat berlaga di stadion utama di Indonesia tersebut. Hal ini akan menjadikan Stadion GBK sebagai tempat yang sakral yang tentunya akan menjadi idaman bagi klub dan pemain-pemain dari divisi-divisi bawah untuk dapat lebih semangat untuk menggenjot kualitas permainan mereka agar dapat bermain di GBK.

Sedangkan untuk mentalitas, ini mengarah pada seluruh klub yang berpartisipasi di Piala Indonesia. Tidak peduli apakah itu klub ibukota ataupun Jabodetabek (Persija, Tira-Kabo, Bhayangkara FC, Persita, dll), mereka harus mampu menunjukkan kualitas permainan terbaiknya tanpa "berpangku" pada atmosfer di tribun. Fokus saja pada permainan dan bawa pulang trofi ke asal masing-masing.

Itu akan lebih menarik dibandingkan merayakan gelar juara langsung di rumahnya masing-masing. Buat apa menggelar final di rumah sendiri jika kemenangan dari medan yang jauh akan lebih terasa menggairahkan?

Perayaan juara tetap dapat dilakukan di kota sendiri meski final di tempat lain. (Poskotanews.com)
Perayaan juara tetap dapat dilakukan di kota sendiri meski final di tempat lain. (Poskotanews.com)

Lagipula, perayaan juara juga akan lebih menyenangkan ketika itu dilakukan pasca hari final itu digelar. Sehingga, akan ada penyambutan pemain ketika tiba dari bandara. Ada arak-arakan panjang menuju balai kota, dan secara atmosfer akan lebih terasa panjang dibandingkan langsung merayakan juara di hari itu dan besok sudah harus kembali siap bertempur.

Inilah yang sebenarnya perlu diperhatikan dan dijadikan evaluasi oleh PSSI agar tidak terjadi lagi insiden penundaan partai puncak. Jika pertandingannya bukan soal perebutan trofi secara langsung, maka penundaan itu tidak akan terasa berdampak besar.

Namun, jika itu adalah partai puncak, maka penundaan itu akan menyasar ke mentalitas dan semangat pemain. Mereka yang seharusnya segera menuntaskan misi, harus kembali mempersiapkan diri. Belum lagi soal faktor non-teknis semacam intrik misterius seperti yang terjadi di Makassar tersebut.

Kabar tidak menyenangkan terjadi menjelang final leg kedua di Makassar. (Detik.com)
Kabar tidak menyenangkan terjadi menjelang final leg kedua di Makassar. (Detik.com)

Bagaimanapun dan dimanapun insiden itu terjadi, tetap saja yang bertanggungjawab besar adalah PSSI, bukan PSM (dan/atau klub lain) apalagi kelompok suporternya. Karena sebagai wadah besar sepakbola Indonesia, PSSI seharusnya mampu mengenali karakteristik atmosfer sepakbola apalagi atmosfer final.

Pertanyaan yang seharusnya mereka pikirkan dalam menyusun format final Piala Indonesia adalah siapa yang tidak ingin menjadi juara ketika gelar itu tidak lagi jauh dari genggaman? Keinginan juara itulah yang kemudian dapat menimbulkan intrik-intrik terselubung yang biasanya menggugah semangat oknum-oknum untuk memanfaatkan situasi tersebut.

Rasionalitas inilah yang sebenarnya perlu dikedepankan oleh PSSI dan masyarakat Indonesia, alih-alih mencurigai satu pihak saja. Karena insiden-insiden semacam ini akan pasti dan selalu ada kapanpun dan dimanapun. Sehingga, sebelum hal itu terjadi lagi, maka alangkah baiknya segera dievaluasi. Toh, sepakbola Indonesia baru 3-4 tahun bangkit dari kubur. Maka, tidak perlu canggung untuk memodifikasi sistem kompetisi jika itu akan lebih baik dari sebelumnya.

Memang, semua ide ada celahnya, namun, jika celah itu lebih kecil dibandingkan yang lain, mengapa tidak untuk dipraktikkan? Apalagi jika model-modelnya sudah teruji di negara-negara lain. Jika memang tidak memungkinkan untuk digelar di ibukota (seperti FA dengan FA Cup dan EFL Cup), maka, tempatkan di tempat netral (seperti UEFA dengan UCL dan UEL-nya) yang mana itu tetap akan menjamin kualitas pertandingan yang sudah mencakup keamanan dan kenyamanan kepada kedua tim yang bertemu.

Harapannya, Piala Indonesia 2018 dapat segera berakhir, agar PSSI juga dapat segera membuka kembali Piala Indonesia 2019. Idealnya, dua pekan pasca final tersebut Piala Indonesia musim terbaru dapat langsung digelar. Toh, Liga 1 2019 juga akan memasuki jeda paruh pertama, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan musim baru Piala Indonesia.

Bagaimana? Dapatkah PSSI mengevaluasi penyelenggaraan Piala Indonesia 2018 yang penuh drama dan saga ini? Atau, akan kembali hadir drama-drama baru di persepakbolaan Indonesia?

Tulungagung, 28 Juli 2019
Deddy Husein S.

Kumpulan berita terkait: Detik.com, Bola.com, Cnnindonesia.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun